Mohon tunggu...
Putra Wiwoho
Putra Wiwoho Mohon Tunggu... -

Pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Lupa…!

29 September 2015   13:31 Diperbarui: 29 September 2015   14:12 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Indikasi adanya kebangkitan kembali komunisme di Indonesia merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian secara serius oleh segenap elemen bangsa.  Kekejaman dan kekejian komunisme dengan Partai Komunisnya (PKI) di masa silam tidak bisa dilupakan begitu saja. Kita sadar betul, bahwa komunisme sebagai sebuah ajaran dengan segala perjuangannya, akan tetap hidup dan terus menerus melakukan perubahan untuk menemukan momentum melakukan kebangkitan kembali.  Kewaspadaan ini sangat penting, mengingat komunis adalah bahaya laten, yang sewaktu-waktu bisa muncul dan bangkit kembali. Seiring dengan reformasi yang terus bergulir saat ini, kesempatan tersebut telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memunculkan kembali gagasan komunisme dalam berbagai bentuk, seperti berupaya dengan segala cara untuk menghapuskan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan dalih kebebasan dan HAM.

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, dijelaskan bahwa komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischenyang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848, teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. Komunisme Karl Marx banyak disebut sebagai komunisme utopia. Dalam perkembangannya, komunisme yang berkembang saat ini adalah sudah merupakan penjabaran dan penggabungan pemikiran untuk merealisasikan komunisme sebagai ideologi pada suatu nation-state, sepertiMarxisme-Leninisme yang pernah dilaksanakan di Uni Sovyet, Marxisme-Maotsetungisme yang berlaku di Tiongkok (Cina) dan lain sebagainya.

Kelahiran komunisme di Indonesia tak bisa dilepaskan dari hadirnya orang-orang buangan politik dari Belanda dan mahasiswa-mahasiswa lulusannya yang berpandangan kiri, seperti Sneevliet, Bregsma dan Tan Malaka. Gerakannya dimulai dari Surabaya pada diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya, dan melebarkan pengaruhnya dengan membangun sel-sel dalam Ormas perjuangan yang ada saat itu, seperti Ormas Sarekat Islam, yang akhirnya terbelah. Salah satu anggota yang terkenal adalah Semaoen, Ketua Sarekat Islam Semarang. Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri didirikan oleh sosialis Belanda, Henk Seevliet tahun 1914 dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging, ISDV).

Mencermati sejarah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI pernah terjadi, baik masa sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, di mana yang pertama terjadi tahun 1926-1927 dengan kekalahan di pihak PKI. Pemberontakan yang kedua, pada era Perang Kemerdekaan tahun 1948 (PKI Madiun), gerakan PKI bangkit kembali dengan kedatangan Muso secara misterius dari Uni Soviet. Muso dan DN Aidit serta pendukungnya ke Madiun mendirikan negara Indonesia yang berhaluan komunis. Divisi Siliwangi bertindak dan mengakhiri pemberontakan Muso. Pasca Perang Kemerdekaan, PKI menyusun kekuatannya kembali, dengan mencetuskan Gerakan 30 September, yang telah melakukan pembantaian di luar batas kemanusiaan terhadap para Dewan Jenderal, yang dikenal dengan 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Gerakan ini akhirnya ditumpas habis oleh pemerintah, dengan ditetapkannya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia sebagai partai terlarang, termasuk ajaran, paham komunis, Marxis, Leninis, dan Maois di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Era Pasca Reformasi, semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, aktivitas kelompok-kelompok komunis, marxis dan haluan kiri lainnya, mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia.

Melawan Lupa dan Sikap Waspada

Dewasa ini, seringkali kita dihadapkan dengan fenomena di media massa, khususnya media elektronik untuk melawan lupa, yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu terkait dengan hal-hal yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Momentum bulan Maret, biasanya dimanfaatkan sebagai salah satu kegiatan yang tepat untuk melancarkan aksinya, karena tanggal 12 Maret 1966, 49 tahun silam, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 1/1966, tentang pembubaran PKI termasuk semua organisasi yang bernaung di bawahnya baik dari tingkat pusat maupun daerah. Kelompok tersebut berupaya agar Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yang menyatakan PKI sebagai partai terlarang dapat segera dihapuskan. Alasan yang dikemukakan sangat sederhana, demi penegakan HAM dan demokrasi. Hal seperti inilah yang perlu kita waspadai bersama.

Waspada terhadap bangkitnya PKI di Indonesia tidak boleh dianggap mudah dan ringan. Generasi saat ini belum banyak tahu dan paham tentang PKI. Hal ini tampak, ketika  Putri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri di Vietnam bulan Februari 2015 lalu, berfoto selfie pada akun instagramnya dengan bergaya sambil menggunakan topi caping, kaca mata hitam, kaos berwarna merah berlambang palu arit. Setelah heboh, foto tersebut kemudian dihapus diinstagramnya, dan Anindya pun berdalih bahwa itu hanyalah souvenir kenang-kenangan dari peserta Putri Vietnam.

Gambar palu arit sebagai lambang PKI memang tidak banyak diketahui oleh generasi masa kini. Namun demikian, beredarnya gambar ini di Indonesia selama ini tidak serta merta muncul sendiri, tetapi dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Tahun 2005 lalu, di Pasar Jatinegara misalnya telah ditemukan kaos bergambar palu arit.  Gambar palu arit juga ditemukan April 2006, pada kaos siswa SMU 71 di Menteng, Jakarta, dan celana olahraga milik siswa SMP 79 Menteng Jakarta, Kemudian diikuti dengan penemuan lukisan/gambar palu arit di sejumlah jalan di kota Bogor.

Tahun 2002 lalu, anggota DPR ketika itu, Sdri. Ribka Tjiptaning dengan bangganya menulis buku “Aku Bangga jadi Anak PKI”. Buku itu mencerminkan bahwa PKI adalah tetap PKI, sehingga cap dan trade mark anak PKI adalah sebagai kebanggaan, yang tidak akan pernah surut dan sirna. Dari pengakuan tersebut, tak heran jika kelompok-kelompok tertentu telah bermunculan. Pertemuan-pertemuan yang mengatasnamakan para korban 1965 dan mantan anggota Gerwani di Bandung, pertemuan dengan dalih membahas koperasi di Cipanas, pertemuan di Blitar, dan pertemuan dengan keturunan keluarga eks anggota PKI di Banyuwangi tahun 2010, pertemuan eks dan keluarga tahanan politik 1966 di padepokan Santi Dharma, Dusun Bendungan, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Sleman, 27 Oktober 2013, serta diskusi yang bertema “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 4 di Jalan Stonen 29, Semarang 17 Februari 2014 adalah tanda-tanda gerakan sistematis untuk membangkitkan kembali komunisme di Indoneisa. Fenomena pertemuan-pertemuan tersebut digunakan sebagai langkah konsolidasi, menyatukan visi perjuangan untuk melawan lupa, dan semuanya itu ingin melihat respon yang timbul di tengah masyarakat. Kegiatan kelompok tersebut akan terus berlanjut dan akan semakin meningkat eskalasinya, untuk memperjuangkan aspirasinya, khususnya melalui caleg-caleg yang memiliki garis keturunan keluarga eks PKI.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun