Mohon tunggu...
Poor Aspiration
Poor Aspiration Mohon Tunggu... -

"The real tragedy of the poor is the poverty of their aspirations." -Adam Smith

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menantikan Undang-Undang Kebebasan Beragama: Menggugat Dominasi Mayoritas!

13 Februari 2012   03:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329791335198968121

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 tidak dilaksanakan oleh Pemerintah. Pemerintah Indonesia lalai melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjamin kelangsungan hidup beragama rakyatnya. Kegagalan pemerintah dalam membina umat beragama di Indonesia harus dibayar mahal dengan pertumpahan darah, konflik agama, intoleransi dan terorisme, serta donimasi mayoritas yang sangat brutal. Dengan demikian, jelas bahwa kebebasan beragama di Indonesia saat ini terpasung. Pasung dalam wujud Peraturan Presiden yang yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Padahal, Pancasila menghendaki Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Agama Yang Maha Kuasa. Apakah betul hanya 5 agama itulah yang hidup dan dianut oleh rakyat Indonesia? tampaknya umat Konghucu lebih beruntung atas pengakuan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Konghucu sebagai agama yang sah. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Oleh sebab itu UUD 1945 harus ditegakkan, setiap bentuk pemasungan atas kebebasan beragama adalah pelanggaran yang nyata terhadap Undang-Undang. Tidak seorangpun pemimpin-pemimpin negeri kita yang berani menyuarakan permasalahan ini, apalagi mengajukan gugatan melalui DPR. Isu ini terlalu sensitif dan tidak menguntungkan secara politik, oleh sebab itu semua partai Politik menghindari tanggung jawab penegakan hukum dalam hal ini. Takut kehilangan dukungan publik terutama dari yang mengaku agama mayoritas dan menguasai 90% umat pemilih dalam pemilu. "Politics is not about the domination, but politics is about the truth" tidak berlaku di negeri kita tercinta Indonesia, tetapi malah sebaliknya "Politics is about domination that absolutely truth". Bagaimana dengan puluhan juta penganut Agama Sunda Wiwitan dan Kabuyutan di tatar Sunda? Bagaimana dengan puluhan juta penganut Agama Kejawen, Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa? Bagaimana dengan jutaan penganut Parmalim di Sumatera Utara? Bagaimana dengan Agama Kaharingan (suku Dayak) dengan jutaan penganutnya di pedalaman Kalimantan? Bagaimana dengan masyarakat Sasak di Bima, masyarakat di Toraja, di Papua dan di seluruh pelosok Tanah Air? Apakah dalam identitas Agama mereka sudah dicantumkan dalam Kartu Kewarganegaaan (KTP), Akta Lahir dsb? Tidak, dan akhirnya puluhan juta rakyat itu menjadi masyarakat termarjinalkan, semacam anak tiri yang dipasung dalam kegelapan. Identitasnya tidak diakui, dipaksa menganut agama yang tidak mereka kenal, dipaksa melakukan ritual-ritual palsu yang sungguh sia-sia. Makna identitas kewarganegaan sangat vital, artinya adalah bahwa ada kehadiran negara dalam setiap rumah tangga Indonesia. Arti KTP tidak hanya berhenti diatas kertas saja, jaminan negara terhadap hak-hak sipil warga negaranya diwujudkan dalam bentuk KTP itu. Kelalaian ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu manifestasi perlindungan dan penegakan hukum harus dimulai dari kebebasan beragama yang mutlak dalam KTP setiap warga negara Indonesia. Jangan sampai negara dikalahkan, hanya karena ribuan demonstran dan perusuh yang mengaku mewakili mayoritas rakyat/umat/ pemilih menolak karena kehilangan salah satu alat intimidasinya. Pertanyaannya adalah mengapa rakyat Indonesia harus dipaksa mencantumkan salah satu diantara 5 Agama dalam KTP nya? Meskipun sudah dianulir oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dalam praktik administrasi negara sampai saat ini masyarakat masih tidak diijinkan mencantumkan keyakinan dan Agamanya di KTP mereka. Kami menyerukan kepada para praktisi hukum untuk mengajukan gugatan uji materiil atas Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama kepada MK. Relevansi aturan tersebut perlu dikaji ulang. Aturan itu lahir dari perut keserakahan yang sarat kepentingan politik partisan, mengambil keuntungan dari situasi dan isu SARA untuk memberi keleluasaan kepada pihak tertentu dalam penghakiman masal tanpa pengadilan. Produk sisa tirani dan penindasan era Orde Baru itu, harus dicabut dan dipulihkan. Perlu dilihat siapakah yang paling diuntungkan dengan pelaksanaan pasal-pasal itu. Apakah potensi yang dapat ditimbulkan serta peluang penyalahgunaan wewenang yang dapat terjadi. Apabila pengingkaran/ diskriminasi itu memang menjadi sikap resmi pemerintah, memelihara pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 hal ini berarti konflik horisontal antar umat beragama di Indonesia tidak akan pernah selesai. Berarti negara berpihak dan menjalankan standar ganda untuk mengumpulkan dukungan politik melalui partai dalam pemerintahan. Kabar nyaris terjadinya konflik di Kalimantan Tengah baru-baru ini menjadi contoh nyata, bagaimana kelalaian negara dalam pembiaran praktik intimidasi (melalui ormas) dan dominasi mayoritas. Karena seharusnya pasal kebebasan beragama dalan UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk setiap warga negara diijinkan mencantumkan keyakinan Agamanya dalam identitasnya sebagai warga negara Indonesia. Kebijakan ini harus dituangkan dalam bentuk produk hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap yaitu Undang-Undang Kebebasan Beragama. Sudah saatnya Indonesia mengakhiri tirani mayoritas dalam masalah kebebasan beragama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun