Mohon tunggu...
Oom Somara De Uci
Oom Somara De Uci Mohon Tunggu... Seniman - Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pegiat Seni dan Budaya. Sepakbola, jalan-jalan, baca dan ngariung jadi hobi. Tinggal di Pustaka Kemucen, Aryakamuning 19 RAJAGALUH - MAJALENGKA. 45472

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PNPM Mandiri Perdesaan Majalengka Sebuah Ikhtiar Penulisan

25 April 2013   17:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13668843521433871575

think globally, act locally” John Naisbit - Patricia Aburdene, Megatrends 2000

[caption id="attachment_240016" align="aligncenter" width="1024" caption="Pusparagam Pemberdayaan, aneka catatan pelaku pemberdayaan PNPM di Majalengka"][/caption]

Suatu hari saya ditemui seorang teman lama, Aboer Cakraborty. Ia dulu penggemar saya ketika masih bersiaran di radio milik pemerintah daerah Majalengka. Ia masih menyebut saya dengan lengkap Epot Adiparwa, itu adalah nama populer saya di udara. Saya mengira ia hanya ingin bernostalgia dengan datang ke kantor saya, Yayasan Karya Waluya di Ciborelang, Jatiwangi. Namun ia juga memperkenalkan seorang yang bernama Sutardjo PS. Ia koordinator fasilitator PNPM kabupaten Majalengka.

Itulah awal mula saya mengenal PNPM. Sutardjo, yang minta namanya dipanggil Mang Ojo ini, tentu tidak seperti gambaran umumnya seorang “penganjur pembangunan” yang tiba-tiba fasih bertutur ayat-ayat pembangunan di depan riungan masyarakat di balai desa. Ia, bahkan dengan sareh tertarik dengan setumpuk buku-buku wayang milik saya. Ia nampaknya penggemar wayang. Kamipun terlibat omong yang asyik soal artikel-artikel wayang di surat kabar lama, Berita Yudha, yang secara konsisten memuat artikel wayang. Heran juga, biasanya saya ngopi sendirian di kantor yang lengang, siang itu kopi sempat berganti dua kali.

Soal PNPM tidak pernah kami omong. Saya pun tentu tidak tertarik, saya merasa bukan bagian dari proyek itu. Mang Ojo saya ajak ke pertemuan di Jaf, Jatiwangi Art Factory, sebuah komunitas kreatif milik sahabat saya, Arief Yudi, di desa Jatisura, Jatiwangi. Saya ketika itu memiliki program radio untuk 3 tahun di Radio Jaf 89,9 FM dengan durasi 3 jam setiap harinya sebagai bagian dari kerja saya di kantor. Nama program acaranya adalah Informasi Siang Bersama Karya Waluya. Tentu, ia bukan saya ajak untuk bersiaran, atau bahkan menjadi bintang tamu semacam interview misalnya. Mang Ojo saya ajak ikut dalam acara diskusi yang biasanya dihelat Jaf di Forum 27an, ini adalah wahana berbagi para penggiat kreatif di setiap tanggal 27 tiap bulan, tidak saja untuk ranah seni. Siapapun boleh hadir di acara yang digelar sore sesudah asar ini.

Minggu berikutnya kami kembali bertemu di kantor saya. Pembicaraan mulai mengerucut pada bidikan yang lebih spesifik. Ketika itu PNPM hendak melakukan serangkaian kegiatan pelatihan yang akan digelar di SKB Majalengka. Saya diminta ikut menjadi pembicara. Wah, tentu bukan kapasitas saya untuk ikut. Asumsi saya soal PNPM tentu seperti halnya pendampingan Raksa Desa, program yang dahulu saya sempat menjadi konsultan untuk 9 kecamatan: ia akan berbicara di sekitar sarana prasarana meliputi jalan, jembatan, air bersih atau perpipaan, irigasi, MCK, listrik desa pun hingga simpan pinjam. Ia pasti sangat menggelikan buat saya. Namun ternyata bukan itu. Mang Ojo meminta saya memberikan pelatihan pada sisi menulis. Bidang media rupanya sedang mau dirambah. Ia meminta saya bersedia memberikan sedikitnya tips menulis.

Itulah mula saya mengenal PNPM, tentu dari sudut pandang yang berbeda. Saya mengisi sesion itu bersama Aras dari Harian Radar Majalengka serta Ade Duryawan dari Radio Komunitas Caraka, Jatiwangi.

*

Nurbuat Alfin Toffler dalam “Culture Shock” nampaknya memang mewujud di abad ini. Abad Informasi. Teknologi satelit, sistem pengolahan data secara digital serta transmisi informasi menjadi ciri khas dari abad yang mengejutkan sekaligus melimbungkan. Munculnya jejaring sosial semacam twitter dan facebook dari Mark Zukelberg semacam menjadi penanda dari lelucon soal global village-nya Marshal Mc Luhan. Semua orang bersuka cita didalam desa dunia, melaporkan, mencatat, merekamnya bahkan dalam bentuk film, foto dan video sekaligus menampilkannya secara cepat dan akurat.

Abad penuh kejutan dalam bingkai megatrends ini bahkan nyaris dalam satu tangan. Seloroh tentang si Mbah yang tahu segalanya kini bukan lagi harus menyebut mbah anu atau siapa, cukup dengan mengetik Mbah Gugel, -mantra terpeleset dari Google-, anda akan segera mendapatkan apa yang anda tanyakan. Dunia akademik yang biasanya sunyi, juga kewalahan menahan imbas buruk keagungan akademis yang nyaris menjadi sarang kejahatan akademis sekaligus: copy paste. Kalau meminjam istilah Panji Koming-nya komik minggu Kompas, mungkin inilah yang disebut zaman hwarakadah. Informasi seliweran tidak hanya dalam kala bulanan atau mingguan, ia bahkan hadir tiap detik. Desa dunia-nya Mc Luhan kita menjadi hiruk pikuk.

Nah, dalam hiruk pikuk itulah saya hadir menjadi pembicara dari peserta di pelatihan bidang media-nya PNPM. Karena ternyata hal elementer tentang menulispun tak dimiliki peserta. Pastilah, karena proyek ini hampir-hampir selamanya berkaitan dengan konversi angka dalam kisaran volume, biaya dan pemanfaat untuk setiap item kegiatan. Celah menganga dari setiap proyek di negeri berkembang nyaris tidak melihat manusia as a human, sebagai sejatinya manusia.

*

Teman saya, Aboer itu, kembali datang, kali ini dengan rombongan peserta pelatihan yang minggu sebelumnya mengikuti pelatihan Bidang Media. Sebelumnya mereka telah mengunjungi kantor Radar di Graha Pena, Cirebon. Saya menyambutnya bersama Ade Duryawan serta teman, penulis Rois Said dari tabloid Cek dan Ricek, Jakarta. Kunjungan ini dirasa penting untuk mengetahui teknik, alur kerja dan dinamika dunia media. Teman saya yang kerap menulis skenario untuk sinema elektronik kebetulan sedang berkunjung pula. Jadilah ia ikut dihadirkan. Nampaknya ia menjadi penghuni desa dunia yang lain.

Namun kiranya memang tidak mudah untuk serta merta memamah “ilmu baru”. Dasar-dasar jurnalistik, mencatat kejadian atau peristiwa yang terjadi, bahkan menuangkan gagasan atau pikiran masih belum menjadi sebuah gerakan. Bukankah memang tradisi yang kita miliki baru ada di wilayah lisan? Adu bako, ngawangkong, ngawadul adalah beberapa diantara tradisi itu yang sesungguhnya baru pengantar pada ranah tulis menulis. Betapa berjaraknya niat dan keinginan dengan wujud tuang gagasan dalam bentuk tulisan.

Itulah pula sebabnya hingga rencana membuat sebuah buku soal PNPM ini lama kelar. Ia bahkan seperti pasir koral yang coba diayak. Tidak mudah mencari pegiat pemberdayaan yang mau menuliskan all about dari obyeknya itu.

Dari semua tulisan yang terkumpul dalam buku ini semoga dapat membuat tampilan yang memang pusparagam. Karena memang dunia dari desa kita layaknya kembang penuh warna, di samping memang hiruk pikuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun