Mohon tunggu...
PUSPITA PALUPI
PUSPITA PALUPI Mohon Tunggu... Freelancer - Paruh waktu

Meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LPSK dan Sebuah Harapan

21 November 2018   03:35 Diperbarui: 21 November 2018   03:42 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu kenyataan yang dapat dilihat tindak kejahatan di lingkungan sekitar kita adalah, banyak kasus kejahatan yang tidak dilaporkan kepada penegak hukum, serta ada juga yang dilaporkan namun berakhir dengan jalan damai. 

Berdasarkan beberapa sumber berita yang saya baca, pihak penerima laporan yang dalam hal ini adalah penegak hukum malah menyarankan perdamaian kepada korban dengan berbagai alasan. Ketika saya menjelajahi dunia maya, saya temukan di salah satu platform daring yang menyebutkan alasan polisi mengabaikan laporan adalah karena adanya pandangan menganggap remeh atau karena adanya perasaan malas dalam menyelidiki (Vidyadhana, 2017).

Suatu ketika, di tahun 2017 saya mendapatkan kabar bahwa salah satu orang yang saya kenal tersandung kasus pemerkosaan, dia adalah pelaku pemerkosaan yang mana korbannya adalah perempuan dengan intelegensi di bawah rata-rata dan mengalami kesulitan komunikasi dengan orang lain. Keluarga pelaku menawarkan jalan damai, yaitu menjanjikan untuk menikahkan pelaku dan korban, namun keluarga korban menolak. 

Hingga bergulir lah proses hukum sebagaimana mestinya. Lalu tanpa angin tanpa hujan, ketika proses hukum sedang bergulir, keluarga korban menarik gugatan dan berakhir dengan menikahkan korban dan pelaku. Saat ini, yang saya tidak diketahui adalah bagaimana kondisi psikologis korban, menikah dengan pelaku yang menghamilinya secara paksa.

Saya merasa sangat geram. Bagi saya tak alasan apapun untuk merasa kasihan kepadah pelaku meskipun pelaku adalah orang yang saya kenali, saya tidak peduli. Dia bersalah, maka bersalah. Ia hancurkan masa depan seorang wanita, lalu ia dapatkan pernikahan darinya. Namun, pada akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak memiliki hak atas keputusan keluarga korban.

Lalu saya tanyakan kepada seorang teman, "Mengapa banyak kasus pemerkosaan yang berakhir dengan berdamai? Mengapa berakhir dengan pernikahan? Mengapa penegak hukum menyarakan jalan perdamaian?"

Dia menjawab dengan cepat, pertama adalah karena masalah tersebut bukan lah hal yang besar, masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Selain itu, jika kasus berjalan maka akan mengeluarkan biaya yang besar terkait penyidikan/penyelidikan. Oleh sebab itu, disarankan kepada korbam jika bisa berdamai maka sebaiknya berdamai, jika tetap ingin melanjutkan kasus hukum maka akan dilanjutkan.

Jawaban itu tentu saja membuat darah saya mendidih, hingga saat ini saya tidak bisa menerima jawaban tersebut. Namun, jika penegak hukum menyarankan untuk berdamai dan korban menyetujuinya, saya sebagai orang yang tak dikenal tidak dapat melakukan apapun. Saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kuasa pada keputusan yang korban nyatakan. Apalagi jika persuasi sudah dilakukan di awal, yaitu ketika korban membuat laporan. 

Pinter sih, ketika sisi psikologis korban sedang tidak baik-baik saja, dilakukan persuasi untuk tidak melanjutkan laporan, maka bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan korban. Parahnya lagi, bila korban tidak ada yang mendampingi atau didampingi oleh orang yang buta hukum, maka berakhir lah kasus tanpa naik ke meja hijau. Hanya yang benar-benar kuat yang mampu menahan godaan persuasi untuk berdamai ini J Oleh sebab itu, saya merasa bahwa penting peran lembaga-lembaga yang mengerti hukum untuk mendampingi proses peradilan.

Saya bisa bayangkan bagaimana jika saya berada di posisi korban, kemudian dihantui dengan berbagai persuasi yang seolah lebih baik, tentu saja keputusan saya untuk membuat laporan tidak berguncang. Saya akan merasa tidak berharga, merasa sendirian, dan bertanya-tanya apakah melaporkan adalah pilihan yang tepat? Jika tak seorang pun mendampingi saya, maka jawaban telak -- laporan saya cabut!

Ya, korban memiliki hak untuk menyetujui saran berdamai atau tidak. Namun, adakalanya korban tidak memiliki kuasa untuk menyetujui atau menolak, yaitu ketika laporannya diabaikan. Tidak hanya itu saja, masih adanya bias gender di mata penegak hukum, seperti disudutkannya korban dengan pertanyaan, "Apakah kamu nyaman....?" Dan pertanyaan lainnya yang bagi sebagian besar korban yang tidak didampingi oleh ahli akan merasa terpojokkan, seperti di salahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun