Mohon tunggu...
Purwoko Hardjosentono
Purwoko Hardjosentono Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan PNS

menggapai mimpi di senja hari ...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Potret Ekonomi Kedelai Indonesia

27 Juni 2014   17:44 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS/PRIYOMBODO)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS/PRIYOMBODO)"][/caption]

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, pada pertengahan tahun 2013 media massa kita heboh memberitakan kelangkaan dan kenaikan harga kedelai di pasar. Perajin tahu dan tempe menjerit, dan mengancam akan mogok produksi kalau harga tidak turun. Berbagai pihak terkait berkomentar. Importir kedelai berkilah, kelangkaan kedelai di pasar disebabkan susah cari kedelai impor di pasar internasional.Pendapat yang sama juga dilontarkan Kementerian Perdagangan.Namun Kadin menuding,kelangkaan kedelai di pasar adalah ulah kartel importir yang menahan pasokan kedelai impornya, berharap harga akan naik dan mendapat untung banyak.

Kenapa importir dicurigai mempermainkan pasokan kedelai? Perlu diketahui bahwa kebutuhan kedelai Indonesia di tahun 2013 sekitar 2.5 juta ton. Produksi kedelai nasional hanya mampu memasok sekitar 0,8 juta ton. Sisanya, 1,7 juta ton kedelai atau sekitar 70% dari kebutuhan kedelai nasional, harus dipenuhi dari impor. Kebijakan waktu itu, impor kedelai dilakukan oleh para importir, yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan, dan diberi kuota tertentu untuk mengimpor kedelai. Dalam berita koran disampaikan bahwa ijin impor kedelai hanya diberikan kepada belasan perusahaan, dan sebagian besar kuota hanya diberikan pada beberapa importir saja. Importir-importir lain mendapat kuota impor yang sangat kecil. Jadi masuk akal tuduhan Kadin. Logikanya, apabila importir besar kompak untuk tidak memasok kedelai di pasar, dalam waktu singkat stok kedelai di pasar akan terserap dan terjadi kelangkaan kedelai di pasar.

Kenapa produksi kedelai nasional sangat rendah, padahal pasar terbuka lebar? Ada apa dengan pertanian kita? Apakah petani Indonesia tidak tertarik untuk menanam kedelai? Kenapa? Inilah pertanyaan yang mungkin timbul di benak kita melihat kenyataan ini. Pada dasarnya, volume produksi kedelai nasional akan dipengaruhi oleh luas lahan panen kedelai dan produktivitas kedelai per hektare. Dalam rencana kerja 2013, Kementerian Pertanian menargetkan produksi kedelai nasional sebanyak 1,5 juta ton kedelai, yang diharapkan dapat dicapai melalui penanaman kedelai seluas 970.000 hektare dengan produktivitas rata-rata 15,46 kuintal per hektare. Namun nyatanya dua-duanya tidak tercapai. Realisasi luas lahan panen kedelai tahun 2013 hanya 554.132 hektare, dan  produktivitas rata-rata hanya mencapai 14,57 kuintal per hektare.

Luas lahan tanam kedelai terus menyusut dari tahun ke tahun. Pada tahun 1992 luas panen kedelai nasionalmasih 1.749.000 hektare, pada tahun 2013 lahan panen kedelai tinggal 554.132 hektare. Penyebab utamanya adalah terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Perekonomian yang terus tumbuh dan pemekaran daerah otonom yang terus berlangsungmemerlukan lahan untuk pembangunan. Tidak mengherankan apabila lahan pertanian banyak menyusut dan berubah fungsi menjadi perkotaan, pusat bisnis, pergudangan, kawasan industri, atau perumahan. Penyebab lain dari turunnya lahan tanam kedelai adalah preferensi petani yang kurang memihak pada tanaman kedelai. Di banyak daerah, petani enggan menanam kedelai karena kurang menguntungkan. Sering terjadi, pada waktu panen harga kedelai anjlok, karena membeludaknya pasokan kedelai impor di pasar. Akibatnya, petani lebih suka membudidayakan tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti jagung, melon, semangka, atau tanaman hortikultura lainnya.

Rendahnya produktivitas kedelai Indonesia antara lain dipengaruhi oleh kualitas benih yang kurang baik dan pola budi daya yang seadanya. Pada umumnya, kedelai di Indonesia ditanam oleh petani kecil, dengan luas lahan rata-rata kurang dari satu hektare. Mereka menggunakan benih seadanya, produk lokal yang tidak jelas kualitasnya, tidak heran kalau produksi rata-rata hanya mencapai 15,47 kuintal per hektare. Padahal, hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar pertanian Indonesia mampu menghasilkan varietas kedelai unggul dengan produktivitas antara 2,4-2,6 ton per hektare. Namun pada kenyataannya, benih unggul tersebut sulit diperoleh di pasar lokal.

Kenapa kedelai impor bisa dijual dengan harga rendah? Apakah para importir banting harga kedelai impor?Ternyata tidak.  Sebagian besar kedelai impor Indonesia didatangkan dari Amerika Serikat dan Brazil. Di kedua negara ini, kedelai umumnya dibudidayakan dalam skala besar. Sebagai gambaran, suatu perusahaan di Brazil yang menanam kedelai memiliki lahan seluas 50.000 hektar, dengan jumlah pegawai hanya 450 orang, termasuk tenaga litbang. Bibit kedelai mereka berkualitas baik, mampu menghasilkan 2,5 ton per hektar.Tidak ada pengolahan tanah untuk bertanam kedelai di Brazil.Limbah tanaman dari hasil panen sebelumnya langsung diolah dan menjadi pupuk untuk tanaman berikutnya. Kegiatan penanaman, penyiraman, pemupukan, hingga pemanenan dilakukan dengan mesin. Kedelai dibiarkan sampai kering dipohon, dan baru dipanen pada usia 140-160 hari. Pengolahan biji kedelai dilakukan langsung di lapangan, dengan menggunakan mesin yang serba otomatis. Limbah pertaniannya langsung disebar sebagai pupuk untuk tanaman berikutnya, dan bijinya dibawa ke gudang untuk diproses lebih lanjut. Hasilnya, produktivitas kedelai di Brazil lebih tinggi dan biaya produksinya sangat rendah.

Sementara itu, kedelai di Indonesia ditanam dalam skala kecil, dan semua kegiatan budi daya dikerjakan secara manual. Kedelai dipanen sebelum kering pada usia 75-100 hari. Diperlukan kegiatan pengolahan pascapanen yang memerlukan banyak tenaga kerja, yaitu untuk menjemur dan mengolah untuk memperoleh biji kedelai. Tidak heran apabila produktivitas kedelai Indonesia relatif rendah, dengan harga pokok yang lebih mahal dibandingkan kedelai impor.

Dengan melihat kenyataan seperti ini, pertanyaannya kemudian adalah bagaimanakah kebijakan kedelainasionalke depan?Perlukah kita berswasembada kedelai? Atau lebih baik kita impor saja, yang harganya lebih murah? Biarkan petani kita menanam komoditi lain yang lebih menguntungkanbaginya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun