Mohon tunggu...
Tiyan Purwanti
Tiyan Purwanti Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjadi Seorang Triffa

24 Mei 2017   12:37 Diperbarui: 24 Mei 2017   13:12 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Triffa,  salah satu penghuni pasar yang setiap pagi, sebelum ia berangkat ke sekolah, dia akan membantu ibunya berjualan di pasar. Trifa yang selalu menuruti kata ibunya. Disuruh beli ini-itu, mondar-mandir sibuk sekali. Suatu hari Trifa berdiri di depan kaca etalase. Melihat ke dalam toko,saya pikir dia ingin membeli sesuatu, tetapi dia datang hanya untuk mengajak berkenalan.

Sepagi ini, seperti biasanya. Saya kembali mendapati Trifa sedang mengatur dagangan. Lincah sekali gerakannya. Sedangkan saya dengan gerakan lambat membuka gembok toko, memperhatikan Trifa yang sibuk membungkus sayuran.

“Hai Trifaa, apakabar?” sapa saya seramah mungkin. Sudah sebulan tidak ketemu anak itu. Triffa tersenyum. “Katanya kamu sakit, sudah sembuh sekarang?”

Triffa menggeleng kepala.  “Kemarin kenapa mba gak masuk? Sakit?” tanya dia.

Gantian saya mengangguk. “Sekarang sudah sembuh?” tanyanya lagi. “Sudah dong, setelah lihat kamu” jawab saya yang dibalas dengan senyum manisnya.

Saya masih ingat ketika berkenalan dengan anak usia kelas empat SD tersebut. Dia berdiri di depan toko. Mematung beberapa saat yang membuat saya terheran. Saya bertanya maunya, dia menjawab dengan senyum dan gelengan kepala. “Kamu mau kenalan dengan Mba?” Triffa tersenyum. Malu-malu dia mengangguk.

Sejak hari itu, kami berhasil membangun sebuah status pertemanan yang terasa aneh. Dimana rentang usia kami terlampau jauh. Terkadang saya harus mengutuk diri sendiri bila sisi ke-childisan saya datang tiba-tiba.

Sejenak saya tatap matanya, tubuhnya, aromanya, bercanda padanya. lantas  saya kembali ke pikiran saya semalam.

Semalam saya akhirnya kembali menulis di buku diary, kelakukan lama bila saya tidak harus buka mulut ke orang lain secara gamblang. Ada beberapa kalimat yang saya tulis, kecaman untuk diri sendiri, bahwa saya tidak boleh membandingkan orang lain dengan diri sendiri. Seharusnya saya membandingkan diri saya yang dahulu. Ini poin pentingnya malam itu. pembandingan diri yang sekarang dan yang dulu.

Tetapi larangan yang saya buat justru saya langgar pagi ini.  Dengan membandingkan Triffa dengan  kelakuan saya sendiri . Triffa pernah bilang, di hari liburnya dia akan bangun pukul empat dan bersiap-siap pergi berjualan. Bersama ibu dan ayahnya membawa bakul dan sejenisnya. Menguap di jalan dengan perasaan kantuk yang tertahan. Sedangkan di masa liburan, saya sendiri berjuang bertarung melawan rasa malas, berpikir untuk mengalahkan setan yang mengikat kaki, akhirnya membiasakan diri untuk bangun pukul empat. Buat apa? Belajar seperti Trifa. Bedanya hanya di rutinitas. Biasanya bangun pukul empat adalah moment tahajud, witir, dan menunggu subuh. Berbenah rumah. Lepas itu olaharaga (cardio, berlari, dan aerobik bersama pesenam lainnya). Itu rutinitas di masa sekarang. Belum nanti kalau sudah menikah, pembiasaan bangun pukul empat mungkin lebih besar lagi manfaatnya. (semoga bisa konsisten sampai tujuh turunan ya. Aamiin).

Terkadang ada perasaan iba ketika melihat Trifa berjualan. Dia harus belajar mengartikan maksud dari orang dewasa---dengan segala keegoisannya. Salah memasukkan barang bisa diomeli. Entah itu dari ibunya atau pembeli yang tidak sabaran. Dia bisa saja kan menjadi korban kemarahan ibunya bila lelah. Korban kekesalan oleh pembeli yang terburu-buru tujuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun