Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... Seniman - A sinner with no name

Peminat kajian sosial budaya masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngudar Rasa yang Tidak Sederhana

26 April 2020   12:03 Diperbarui: 26 April 2020   11:57 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngudarasa dalam bahasa Jawa berarti menduga, memikirkan tentang suatu hal. Kata ini terdiri kata ngudar dan rasa. Ngudar berarti terurai (lepas) dari ikatannya, simpulnya dan sebagainya; dan rasa -- tidak semata berarti perasaan, namun berarti sebuah kualitas tersendiri bagi sebagian besar orang Jawa. Dalam konteks budaya, ngudarasa digunakan orang-orang untuk mengungkapkan pikiran, sikap dan gagasan terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya -- tidak sebagai gugatan tapi lebih sebagai bahan untuk saling merefleksi diri. Suatu hal yang tepat dan pas untuk kita terapkan diantara kenyataan sosio kultural bangsa yang terjadi saat ini.

Semangat tersebut yang menyusun buku kumpulan esai berjudul "ngudaRasa" ini. Penulisnya, alumnus ISI Surakarta yang sedang menempuh Magister Pendidikan di UNS Solo ini, merangkum tema pendidikan, kesenian dalam konteks logika sosial kemasyarakatan dan kebudayaan kontemporer. Tidak terkurung dalam batas topik pembicaraan dan kurun waktu permasalahan, ia juga merespon fakta aktual tentang kondisi sosial politik yang terjadi. Dengan pilihan fokus dan cara pandang atas kekayaan data dan fakta dalam meramu logika intelektual untuk mengeja permasalahan yang dibidik, membuat pembacaan atas esai-esai ini akan tetap kontekstual dalam waktu mendatang.

Salah satu alasannya karena alur pikirannya cukup runtut dan logis. Di tangan penulis, politik bukan jadi suatu hal yang membuat kening berkerut, musik bukan jadi sesuatu yang abstrak, sulit dimaknai dan segmentatif bahkan pembahasan masalah sosial tidak menjadi soal. Ia bisa bicara tentang kearifan lokal, masalah pendidikan, sejarah pergerakan hingga filsafat kontemporer dengan sama terampilnya. Bahasanya sederhana, jelas dan lugas, tentu saja dengan didasari basis logika dan pertanggungjawaban intelektual dalam menyampaikan sebuah pendapat.

Tampilan karya ini barangkali terkesan sederhana: mulai dari judul buku, gambar sampul yang menampilkan Punakawan hingga pilihan warna natural campuran hijau pupus dan abu-abunya. Tapi saya pikir, semuanya menyimpan simbolisme yang cerdas dan tidak apa adanya. Entitas kultural dalam diri penulis kelahiran Wonogiri, sebuah wilayah penting dalam sejarah kebudayaan Mataram khususnya, terepresentasikan dalam hasil karya ini.

Hal ini makin jelas jika kita menilik diksi judul-judul esainya. Pilihan kata seperti "Murid Kencing Berlari, Guru (Honorer) Mati Seorang Diri", "Mudik: Kembali Menemukan Diri", "Baru Sekedar Ujian Nasional, Belum Ujian Hidup", atau "...Nasib "Bebrayan" Sosial" dan "Hanya Sebuah Obrolan", adalah hal-hal yang dekat dan terjadi langsung dalam kehidupan keseharian kita. Dan idiom-idiom "lokal dan sederhana" yang akrab dengan budaya kita itu justru digunakannya untuk membahas suatu permasalahan yang riil dan lebih luas.

Hal ini sekali lagi terbukti dalam esai berjudul "Selandia Baru -- Saja -- Mengejutkan" dimana penulis membahas isu global dalam perspektif kultural yang otentik. Dalam budaya kita, esai ini bisa jadi membuktikan suatu sikap kebijaksanaan untuk tidak gumunan, untuk tidak berbicara banyak, tapi menyelesaikan pekerjaan dengan menthes dan tuntas -- suatu tanda kesederhanaan dan kedewasaan manusia Jawa.

Pilihan sikap itu juga tercermin diantaranya dalam kalimat "...kalau mengenai siapa yang akan saya pilih pada Pilpres mendatang, saya adalah orang yang taat asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil" (h. 10). Atau "...persoalan permusikan ini harus diselesaikan dengan meletakkan pada prinsip dasar seni sebagai mengolah aspek esoterik manusia" (h. 14). Dan paling jelas pada "Barangsiapa belajar, sesungguhnya ia sedang membangun kerendahhatian" (h. 87).

Buku ini menyiratkan sebuah usaha untuk memenuhi ruang pemaknaan. Dari tulisan-tulisannya yang lugas dan getas, terasa semangat mencari, mempelajari dan memaknai atas sesuatu yang menjadi obyek kajiannya.

Barangkali sesuai dengan semangatnya sebagai ngudarasa, semacam percakapan bernada rendah atau bahkan sebagai solilokui, alur pemikiran buku ini terkesan meloncat, tidak padu dan utuh. Sebagai sebuah pendapat, bisa jadi ia berenergi, kritis, dan bahkan terkesan sinis, namun pada beberapa konteks permasalahan, logikanya terkesan kompromis, bahkan, manis dalam mendedahkan solusi. Juga sebagaimana obrolan di angkringan atau pos ronda, urutan esai dalam buku ini tidak terbagi dalam tema-tema yang sebenarnya memungkinkannya menjadi sebuah logika intelektual yang fokus, terarah dan lebih berenergi dalam menyuarakan ide-ide alternatif yang lebih kontekstual dan tepat sasaran.

Bagaimanapun juga kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang reflektif dan tak diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup modern. Dan lewat buku ini, penulis mencoba mengisi ruang kosong itu. Dia mencoba menjadi bernas, lugas dan konsisten -- suatu hal yang memang patut kita apresiasi.

Data Buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun