Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sharing Relawan Kristiani

16 Januari 2011   17:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12951997551229362236
12951997551229362236

Saat menjadi relawan untuk bancana Merapi, saya terusik dengan poster sebuah acara bursa buku  yang tertempel di berbagai tempat di kota Jogja. Setelah itu, ada lagi spanduk dengan nada yang hampir sama terpampang di lereng Merapi, perbatasan Jogja dan Klaten. Isinya tentang peringatan “bahaya Kristenisasi.”

Setengah tahun sebelumnya, kami juga pernah mengalami peristiwa pahit. Saat membangun 36 rumah bagi korban gempa, proyek kami dihentikan oleh laskar “tiga huruf” karena dianggap dapat merusak akidah (Namun setelah melalui pendekatan persuasif, proyek ini akhirnya selesai).

Sebagai relawan yang berbasis lembaga gereja, saya perlu memberikan penjelasan dari perspektif relawan Kristen.

Pertama, gereja itu tidak monolitik. Ada banyak sekali aliran di dalam gereja. Saya mencoba membagikan sudut pandang dari relawan  gereja protestan yang menganut teologi calvinisme. Kami memiliki keyakinan bahwa keselamatan manusia itu merupakan anugerah atau rahmat dari Allah, bukan hasil usaha manusia.  Gereja adalah kumpulan orang-orang yang ditahmati Allah dengan keselamatan. Oleh karena itu orang Kristen selalu mengucap syukur karena sesugguhnya mereka adalah orang berdosa dan tidak layak, namun diselamatkan karena kebaikan hati Allah.

Salah satu ucapan syukur ini adalah dengan melakukan kebaikan kepada sesama manusia. Situasinya dapat digambarkan begini:

Pada akhir zaman, Tuhan membagi manusia menjadi dua kelompok. Kepada kelompok di sebelah kanan-Nya, Tuhan berkata: “Masuklah ke dalam Kerajaan yang sudah disediakan bagi kalian sejak dunia diciptakan. Karena, ketika Aku lapar, kalian memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian memberi Aku air; ketika Aku menjadi orang pendatang, kalian mengajak Aku masuk ke dalam rumah kalian; ketika Aku bertelanjang, kalian memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan berada di dalam penjara, kalian menengok Aku.”

Kelompok yang ada di sebalah kanan itu menjadi heran. “Kapan kami melakukan itu?” Tanya mereka.

Tuhan menjawab, “Ketika kalian melakukan hal itu kepada salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian melakukannya kepada-Ku.”

Kemudian Tuhan berpaling kepadaorang-orang  yang di sebelah kiri-Ku serta berkata, ‘Enyahlah kalian, hai orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang sudah disediakan untuk setan dan roh-roh jahat. Karena, ketika Aku lapar, kalian tidak mau memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian tidak mau memberi Aku minum; ketika Aku menjadi pendatang, kalian tidak mau menyambut Aku; ketika Aku bertelanjang, kalian tidak mau memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan di dalam penjara, kalian tidak mau menengok Aku.”

Orang-orang yang ada di sebelah kiri-Nya kaget setengah mati. “Tuhan, kapan kami pernah melihat Engkau lapar, atau haus, atau menjadi pendatang, atau bertelanjang, atau sakit, atau dipenjarakan dan kami tidak menolong Engkau?”

Tuhan akan menjawab, ‘Ketika kalian tidak mau menolong salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian tidak mau menolong Aku.”

Kisah ini hendak menyatakan  bahwa ketika kami melakukan pelayanan atau berbuat baik kepada orang-orang yang terpinggirkan itu, sebenarnya kami melakukan-Nya untuk Allah.

Kedua, kekristenan adalah agama yang misioner atau dalam terminologi Islam disebut syiar. Sebagai orang yang mendapatkan hadiah atau anugerah, maka tak elok kalau orang Krsiten tidak mebagi-bagikannya kepada orang lain.  Dalam film “Independence Day”, diceritakan bahwa tentara Amerika berhasil menemukan cara untuk melumpuhkan pasukan luar angkasa yang menyerbu bumi. “Sebarkan berita ini ke seluruh dunia,” perintah panglima tertinggi. Dalam film itu, jika Amerika menyimpan sendiri metode itu, maka mereka akan dicap sebagai bengsa yang egois (terlepas dari kenyataannya bahwa Amerika sering begitu).

Demikian juga dalam kekristenan. Orang yang sudah mendapatkan rahmat dari Allah biasanya tidak tahan untuk tidak menceritakan kabar gembira itu kepada orang lain. Hal itu dapat digambarkan seperti seorang janda yang kehilangan uang di dalam rumahnya. Dia lalu menyalakan pelita dan mencari uang yang sangat bernilai baginya itu. Ketika menemukannya, maka dia tidak tahan untuk tidak menceritakan kegembiraannya itu kepada tetangga-tetangganya. Itu sebabnya kitab suci orang Kristen disebut “Injil”, yang artinya “Kabar Gembira.”

Orang Kristen mendapat mandat dari Tuhan untuk menceritakan kabar gembira itu pada orang lain. Jika tidak melakukannya, maka orang Kristen itu disebut egois. Soal penerimaan orang lain terhadap kabar gembira itu, kami tidak pernah risau sebab seperti yang saya sebutkan di atas, kami yakin bahwa keselamatan itu rahmat dari Allah. Jadi sekalipun kami ngotot habis-habisan meyakinkan seseorang supaya menerika kabar gembira itu, tetapi jika Allah tidak merahmati orang tersebut, maka usaha kami sia-sia.  Sebaliknya, jika Allah memang ingin memberikan rahmat kepada seseorang, maka Dia dapat melakukan cara apa saja, bahkan mungkin dengan cara-cara yang tak terduga.

Itu sebabnya, gereja kami (sekali lagi aliran kami), tidak menggunakan iming-iming sesuatu supaya seseorang menjadi Kristen. Sekali pun kami menggelontor seseorang dengan mie instan satu pick up, jika memang hati orang itu tidak digerakkan oleh Allah, maka tidak ada efeknya.  Lagipula masyarakat sekarang sudah sangat cerdas. Lihat saja praktik politik uang dalam pemilu dan pilkada. Calon pemilih menerima uluran uang dari parpol atau kandidat, tapi ketika masuk ke bilik siapa yang dapat mengontrol pilihannya?

Saat melakukan penghijauan di lereng Merapi, kami bertemu dengan mantan pengungsi yang pernah tinggal di tempat pengungsian yang kami kelola. Kata-kata pertama yang muncul dari mulutnya adalah, “bapak ini yang pernah mentraktir sate pada kami ‘kan?” Saya mengangguk (dalam hati berkata, ‘saya cuma menyalurkan kok. Biayanya dari orang lain’). Perhatikan, mereka lebih ingat “satenya” daripada nama saya atau lembaga saya. Bagi banyak orang, yang diingat adalah aksi dan bantuannya. Mereka tidak mengingat ideologi, ajaran atau siapa yang memberikan bantuan.

Kesimpulannya: orang Kristen diperintahkan untuk menceritakan kabar baik ini kepada semua orang, tapi hasilnya terserah pada Allah.Dalam melakukan ini, iming-iming dengan hadiah itu  tidak banyak efeknya.

Ketiga, dalam kebencanaan dikenal prinsip non-proletisi. Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.”

Dalam situasi bencana, penyintas berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati.

Dengan demikian, memberikan bantuan disertai niatan untuk mengubah keyakinan si penerima bantuan adalah hal yang tidak etis dan melanggar Undang-undang. Itu sebabnya, sebagai relawan, kami menerapkan prinsip non-proletisi dan non-diskriminatif dalam memberikan bantuan. Alas yang digunakan semata-mata demi kemanusiaan. Tidak ada yang lain. Semoga sharing ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda. Saya tidak membantah bahwa memang ada orang Kristen yang “menumpang” bencana untuk melakukan pekabaran Injil atau dalam istilah populer disebut “kristenisasi.” Namun jumlahnya sangat sedikit. Meski begitu, sebagaimana sejumput ragi yang mengkhamirkan seonggok besar gandum, kadangkala pihak luar menganggap semua orang Kristen melakukan demikian. Saya  ingin mengatakan bahwa tidak semua gereja melakukan itu. Di gereja kami, tidak ada yang namanya gerakan “kristenisasi” secara sistematis di dalam kebencanaan.

Foto Purnawan
Foto Purnawan
Video karya Purnawan
Video karya Purnawan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun