Mohon tunggu...
Luthfi Purnahasna
Luthfi Purnahasna Mohon Tunggu... PNS -

Saya justru bingung jika disuruh mendeskripsikan diri saya sendiri. Biarlah orang lain yang menilai saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BBM = Benar-Benar "Mumet"

11 Januari 2012   16:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah lama tidak menulis di Kompasiana, tiba-tiba saya jadi ingin menulis karena melihat pemberitaan belakangan. Lalu di sela-sela masa ujian akhir semester saya mencoba mengisi waktu saya "yang kurang produktif" ini dengan menulis saja. Toh, besok tidak ada jadwal ujian. Kok malah ngelantur? He-he-he.

Kenapa saya menulis tentang BBM? Alasannya ada dua. Pertama, kita tahu bahwa pemerintah akan memberlakukan pembatasan BBM jenis premium per 1 April 2012 mendatang. Dan jika tidak salah akan dimulai dengan Pulau Jawa dan Bali terlebih dahulu. Kebijakan ini akan berdampak pada (keluarga) saya pastinya. Kami mempunyai mobil di rumah, Hyundai Atoz tahun 2004, yang konsumsi bahan bakarnya biasa memakai jenis premium. Itu alasan pertama saya ingin membahas masalah ini.

Kedua, masalah pembatasan ini menurut saya adalah masalah kompleks. Tidak bisa hanya diliaht dari satu sisi dan tidak akan hanya mempengaruhi satu bidang saja. Apalagi wacana pembatasan sebelum tak jua terlaksana. Tapi kali ini (sepertinya) pemerintah terihat serius. Dan semoga saja tidak plin-plan dalam mengambil keputusan.

Jujur, dalam benak saya berkecamuk terkait kebijakan ini. Pembatasan jelas akan memaksa (keluarga) saya untuk beralih ke bahan bakar yang harganya lebih mahal untuk mobil. Walau pun saya tdak pungkiri jika bahan bakar yang lebih mahal itu mempunyai kualitas yang lebih baik. Orang Jawa bilang,"Ana rega, ana rupa". Tetapi tetap saja beban pengeluaran keluarga akan bertambah meski mobil kami tidak tergolong sangat aktif penggunaannya. Belum lagi juga ada wacana kebijakan pembatasan untuk sepeda motor pada 2014 yang juga minimal harus menggunakan pertamax. Wah, makin gawat saja.

Saya bukannya tidak mengetahui beban pengeluaran besar yang ditanggung pemerintah karena subsidi BBM. Beban yang begitu besar apalagi semenjak Indonesia bukan lagi anggota OPEC karena produksi minyak dalam negeri sudah tidak bisa memenuhi standar sebagai "pengekspor minyak". Hal ini menunjukkan memang produksi munyak sendiri sudah kritis.

Tetapi seperti yang saya bilang tadi, ada dilema. Meski keluarga saya juga bukan termasuk keluarga miskin (kan bisa beli mobil) tapi juga tidak bisa dikatakan berkelebihan juga. Dan di lain sisi saya juga sadar bahwa pemerintah pun ingin mengurangi beban pengeluarannya.

Pembatasan ini juga seperti saya mulai tadi, masalah yang kompleks. Dilema saya muncul karena selama ini tidak pembatasan atau peraturan yang jelas tentang penggunaan BBM. Sehingga saat harus membeli BBM tentunya saya (dan keluarga) akan memilih yang paling murahlah. Prinsip ekonomis berlaku. Hal ini kemungkinan juga terjadi pada keluarga-keluarga lain. Bahkan mungkin yang kaya sekalipun juga bisa seperti itu. Bukan pelit, tapi irit. He-he-he.

Kekompleksan di tingkat saya musih masih rendah, tapi hal itu akan lebih rumit jika sudah lebih tingi levelnya. Tersebutlah dunia industri. Dunia industri walaupun tidak semuanya berhubungan langsung tapi pada akhirnya akan terpengaruh juga karena kebijakan ini nantinya. Beban pengeluaran saat distribusi atau transportasi pasti akan bertambah. Kondisi lebih parah jika industri tersebut saat proses produksinya langsung menggunakan BBM. Tentunya lebih mahal beban biaya produksinya. Bisnis transportasi kecil (saya asumsikan bisnis besar tidak lagi memakai premium, jika memakai tentu akan lebih rumit) akan kena dampaknya juga. Meski begitu sepertinya akan sedikit selamat karena kendaraan umum masih boleh memakai premium.

Hasilnya pun akan bisa dirasakan masyarakat luas nantinya. Jika dunia produksi menaikkan biaya produksinya, imbasnya bisa dua. Pertama kenaikan harga di masyarakat yang tentunya (lagi-lagi) memberatkan. Kedua, bisa dengan mengurangi jumlah produksi. Imbasnya kemungkinan akan ada kelangkaan atau paling tidak kekurangan akan produk tertentu.

Hal diatas terjadi karena kita sudah biasa dimanjakan. Saya katakan begitu karena selama ini tidak ada peraturan tentang pembatasan yang jelas. Apalagi pemerintah juga (terkenal) plin-plan dalam mencuatkan wacana pembatasan BBM. Sehingga masyarakat sering merasa itu hanya gertakan saja dan akan pergi seperti angin lalu. Dampaknya kita jadi terbiasa untuk memilih "yang lebih murah". Karena juga tidak dilarang dan peraturannya tidak ada. Gawatnya, ketika pembatasan BBM muncul, kita yang sudah terbiasa "dimanjakan" tidak bisa menikmati "kemanjaan" itu.

Tetapi kita akhirnya juga harus menghargai keputusan pemerintah. Kabarnya jika bisa menghemat anggaran subsidi BBM, dana itu bisa dialirkan ke pos-pos yang lain. Dan tentunya ke pos yang lebih membutuhkan, seperti pendidikan mungkin. Selain itu, pemerintah juga mencoba memberikan alternatif bahan bakar yaitu Bahan Bakar Gas (BBG). Meski untuk kendaraan dengan BBM harus menggunakan konverter bahan bakar untuk bisa memakai BBG. Dan kabarnya konverter masih mahal harganya. Tapi pemerintah telah memberikan alternatif, tidak begitu saja mengeluarkan kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun