Mohon tunggu...
ady nugraha
ady nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - cuma seseorang yang beuki heureuy

Alumnus Sastra Indonesia Unpad

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nilai Lebih Pernikahan Sistem Zonasi bagi Orang Pelit

22 Juli 2019   17:15 Diperbarui: 22 Juli 2019   22:39 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan dibikin geger soal PPDB sistem zonasi. Singkatnya, sistem PPDB zonasi cuma membolehkan siswa mendaftar di sekolah terdekat dengan tempat tinggal mereka. 

Siswa yang berprestasi tidak bisa daftar di sekolah terbaik, kecuali jika lokasi sekolah masih berada di wilayah yang sama. 

Banyak yang mengkritik kebijakan tersebut. Lebih dari itu, ada juga segelintir oknum yang dengan semena-mena memunculkan wacana baru meski kisruh PPDB Zonasi masih anget-anget tai ayam; pernikahan sistem zonasi. 

Kata si oknum itu, entah dari wangsit dukun mana dia berucap, sistem kawin zonasi akan diterapkan pada 2020. Sayangnya, banyak yang percaya. Lagi, warga heboh. Banyak yg merasa masa depan mereka terancam punah oleh pemerintah,  seolah masalah jodoh pun harus mengikuti arahan dari penguasa. 

Mereka yang merasa terancam itu kebanyakan berasal dari kaum jomblo. Salah satunya adalah seorang kawan saya. Sebut saja namanya Jon yang kini umurnya udah lewat kepala 3, tapi masih single-single aja tanpa ada wanita disampingnya. 

Ada sih yang dekat, tapi itu emaknya. Disini kita lagi bahas soal wanita dalam arti pasangan hidup, bukan orang tua. Jon adalah orang yang percaya sekaligus khawatir jika pernikahan sistem zonasi diterapkan.

Kata dia, dengan mengkerucutnya wilayah pencarian jodoh yang hanya bisa didapat di sekitar kampung maka peluang dia untuk mendapatkan pendamping hidup menjadi lebih kecil. 

"Nyari di Indonesia aja susah, apalagi cuma dibolehin nyari di kampung?" kata dia dengan intonasi dan mimik pesimis.

Perlu diketahui, Jon adalah orang yang pernah mengembara di beberapa daerah di Indonesia. Dia pernah ke Batam, Bali hingga Papua. Alasannya kerja, meski pada setiap tempat itu dia punya misi sampingan cari jodoh. 

Hanya saja sampai saat ini misi tak wajib itu tak kunjung berbuah hasil. 

Regulasi pernikahan sistem zonasi sebetulnya bukan momok yang harus ditakuti.  Malah, bisa jadi itu merupakan sesuatu yang menguntungkan. Setidaknya, menurut pendapat saya. 

Banyak yang bilang saya adalah orang pelit. Tadinya, saya kira stigma tersebut masih bisa diperdebatkan. Mereka bilang saya pelit, tapi saya merasa saya irit. 

 Namun setelah baca sebuah artikel di salah satu website populer, pada akhirnya saya harus menerima fakta bahwa barangkali saya memang pelit. Ada beberapa ciri orang pelit yang termaktub di artikel tersebut, 

1. Males Bawa Uang Cash

2. Menghindari Pajak

3. Cari Gratisan

4. Meminimalisir Pengeluaran

5. Pemburu Quiz

Poin ke 1, saya memang termasuk orang yang jarang bawa uang cash kalo kemana-mana. Saya lebih setuju membawa uang secukupnya, bahkan terkadang sekurangnya. Lalu yang kedua, saya juga termasuk orang yang ga rela bayar pajak sewaktu makan di restoran tertentu. Contoh nih, misalkan total makanan yang harus saya bayar 50.000 ditambah pajak 5000 rupiah, maka saya akan membayar yang 10 persen itu dengan penuh ketakrelaan.

Lalu soal suka gratisan, saya juga memang tak bisa pungkiri. Contoh, saya sering download beberapa aplikasi belanja online cuma buat dapat barang gratisan pada pesanan pertama. Setelah barang diterima, aplikasi saya hapus, yang penting barang gratis udah saya terima (jahat ga sih?). 

Untuk poin nomor 4, sudah dijelaskan dan masih nyambung sama poin 1. Sedangkan untuk poin terakhir, saya juga memang pemburu kuis. Saya sering ikutan beberapa kuis berhadiah melalui media sosial. 

Memang sih selama ikutan kuis saya ga pernah menang, tapi saya ga rugi. Alasannya karena ga keluar duit. Besok lusa saya bakal ikutan kuis yang sama.

Jika mengacu pada kelima poin diatas, maka saya bisa dikategorikan orang pelit. Fixed. Oke, saya terima.

Nah, kita kembali ke soal pernikahan sistem zonasi tadi. Sebagai orang pelit, harus diakui bahwa pernikahan sewilayah ini punya beberapa nilai lebih. Bahwa pernikahan dengan seseorang yang dekat secara wilayah bisa lebih ekonomis dibanding yang jauh. 

Dari segi ongkos, tak perlu lah kiranya mengeluarkan beban transportasi yang mahal. Cukup dengan BBM beberapa liter saja, keluarga bisa datang ke tempat resepsi. 

Coba bayangkan seandainya seorang pria dari Sabang menikah dengan perawan asal Merauke. Sang pria harus menempuh perjalanan udara dari ujung barat Indonesia hingga ke ujung timur nusantara. Belum lagi harus bayar anggota keluarga pula, mereka harus diongkosin juga kan? Artinya, biaya transportasi akan lebih murah jika pernikahan dilakukan melalui sistem zonasi.

Gelombang positif lainnya adalah tetangga. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan asas gotong royong, saling bantu satu sama lain, maka akan banyak tetangga yang dengan mudah menawarkan diri memberikan uluran tangannya, contoh ada tetangga yang bisa bikin masakan untuk pernikahan, maka pihak pengantin bisa memesannya dan membayar dengan 'harga tetangga'. 

Ga perlu deh, pesen cathering ke perusahaan ternama yang harganya melangit itu. Syukur-syukur si tetangga ngasih diskonnya ga tanggung-tanggung, atau bahkan gratis (ngarep). 

Ada lagi nih keuntungan lainnya. Secara teritorial, orang tuh biasanya males datang ke tempat yang jauh karena alasan tertentu, begitu juga saat menerima undangan di lokasi yang cukup jauh. Beda cerita jika undangan masih di daerah itu-itu saja, peluang untuk datang menjadi lebih besar. 

Jadi kesimpulannya, undangan di zona yang sama akan lebih banyak didatangi tetangga. Lalu apa untungnya jika banyak tamu yang datang? Bukannya beban konsumsi semakin bertambah?

Sebagai orang pelit, saya sih melihat segala sesuatunya dari sisi ekonomi. Memang sih, logikanya beban pengeluaran konsumsi pernikahan berbanding lurus dengan jumlah tamu yang datang, semakin banyak tamu yang datang, maka semakin banyak beban pengeluaran konsumsi yang harus dianggarkan. 

Apalagi biasanya meski yang diundang satu orang, ada juga tamu yang datang bersama anggota keluarga. Entah istri, anak-anak, dan lain sebagainya Namun jangan lupakan bahwa para tamu biasanya datang dengan berbekal amplop yang nantinya masuk ke kas pengantin. 

Lumayan kan, buat nutupi biaya sewa sound sistem sama artis dangdutnya. Hehehe...

Jon cuma geleng-geleng kepala sewaktu saya kuliahi soal 'teori keuntungan pernikahan zonasi dari sisi ekonomi' itu. 

"Dasar pelit!" katanya. 

Ga tau deh dia orang keberapa yang mengumpat saya dengan kata-kata itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun