Mohon tunggu...
ady nugraha
ady nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - cuma seseorang yang beuki heureuy

Alumnus Sastra Indonesia Unpad

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput Aja Gitu?

24 Februari 2019   11:31 Diperbarui: 24 Februari 2019   11:37 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya juga tahun politik. Apa-apanya bau politik. Liat-liat medsos, mulai dari facebook ampe IG semuanya bernuansa politik. Nongkrong juga gitu. Reunian sama temen lama juga ngomongin itu.

Yang tadinya bahas bla, bla, bla secara ajaib jadi pindah haluan ke tema debat capres kedua. Yang tadinya topik santai yang bikin peserta reuni tertawa-tawa mengenang kelakuan masa lalu kita, akhirnya jadi perdebatan tensi tinggi. Teman saya yang satu ngeklaim bahwa Jokowi menang, sedangkan yang lainnya ngotot Jokowi kalah telak, Prabowo lah pemenang debat malam itu.

"Prabowo nasionalis, lahan dibeli biar ga dikuasai pengusaha asing." kata dia bersikukuh mempertahankan asumsinya.

Kubu 01 tentunya ga mau kalah. Berbagai bantahan diketuskan. Teman lain yang satu tujuan mengamini, ada juga yang bantu cariin data di hp nya, browsing, terus nyampein prestasi Jokowi mulai dari Solo, Jakarta, sebelum naik ke singgasana negara.

Ga mau kalah, kubu sebelah juga pake data. Isu-isu soal pelanggaran HAM 1998 kemudian diangkat lagi. Prabowo tak salah, katanya. Yang salah ada di kubu Jokowi, pelanggar HAM yang sejak berapa periode presiden masih saja dipelihara, jawabnya mengutip pernyataan Rocky Gerung sang pendaki gunung (saya tahu siapa sosok yang dimaksud).

Tentu saja lagi pihak petahana punya balasan. Kemudian balasan itu dibalas lagi. Masing-masing tampak yakin dengan narasinya. Saya sih jadi menikmati, agenda reuni kini jadi serasa nonton ILC live yang sifatnya dadakan. 

Dua jam lebih saya hitung sejak kami duduk di sebuah kafe di Bandung itu. Sudah 3 gelas kopi saya pesan, setengah bungkus rokok saya habiskan, sebelum akhirnya salah seorang rekan saya menyeret saya ke tema perdebatan. 

"Kok diam saja dari tadi? Ngomong dong!"  

Saya pun bingung, mau ngomong apa. Enaknya sih ngomongin masa lalu (bukankah itu alasan kita ada disitu?), tapi temanya udah ga aktual. Udah lewat. Kemudian saya dipaksa berargumen, ujung-ujungnya adalah semacam pemaksaan kehendak untuk berkata terus terang, ikhwal menjawab siapa yang menang di Debat Capres kedua. Ujung-ujungnya lagi, saya dipaksa berterus terang mengatakan siapa paslon yang saya dukung.

Saya kemudian merasa dihadapkan pada dilema antara keputusan politik dengan mengorbankan pertemanan saya. Artinya, jika saya menyebut Jokowi menang, maka saya sadar beresiko dinyinyiri para pendukung Prabowo, juga sebaliknya kalaupun saya bilang Prabowo menang maka pendukung Jokowi bakal sensi.

Saya tahu mereka adalah teman saya, meski beda dukungan. Saya ga mau kehilangan sebagian dari teman saya gegara beda dukungan. Tapi desakan itu semakin nyata, tatkala semua mata tertuju pada saya yang sebetulnya dalam diskusi tak tahu apa-apa. 

Situasi menjadi mirip interogasi pihak kepolisian dimana saya adalah saksi kunci yang tahu siapa maling ayam yang tengah diburu. Saya harus mengatakan siapa pelaku sehingga dia bisa dihukum sesuai kesalahanya. Saya harus berkata jujur. Saya harus menjawab.

"Dua-duanya kalah" kata saya.

Seketika situasi menjadi hening. Sangat hening. Bahkan hingga dentingan sendok yang menyentuh piring terdengar dengan begitu jelas. Jika saja ada orang yang ga bisa nahan pengen buang gas, suaranya pasti terdengar nyaring, menggema diseantero ruangan.

Saya jawab begitu salah satunya karena alasan pertimbangan pertemanan, tak ingin disalahkan karena mendukung salah satu paslon. Biarlah mereka mengutarakan dukungan, saling mendebat satu sama lain, menanggap bahwa yang didukung lebih baik, lebih benar, daripada lawan politiknya. 

Dan lagi, jawaban itu memang benar berasal dari hati nurani terdalam saya. Memang demikian adanya, tak ada yang menang dalam debat dua calon pemimpin bangsa itu. Dua-duanya kalah, karena tidak memaparkan visi misi yang jelas untuk masa depan bangsa (setidaknya yang saya tangkap begitu). 

Yang satu menyerang, yang lain malah memuji. Bagi saya, debat capres malam itu kebalik. Petahana diposisi menyerang sedangkan oposisi justru bertahan. Di benak saya, idealnya yang dilakukan petahana adalah menyombongkan prestasi yang sudah dicapai, kemudian memaparkan cara untuk menutupi segala kekurangan, apa-apa yang belum tercapai, sementara penantang mestinya mengkritik kebijakan pemerintah yang belum mewakili rakyat, kemudian memberikan langkah yang tepat alias merevisi supaya lebih baik.

Saya jelaskanlah apa yang ada di benak saya malam itu. Beberapa terlihat ingin bereaksi, tapi saya bilang saja ga usah didebat, karena pilihan saya bukan untuk diperdebatkan. 

Saya pun berlalu di hadapan mereka. Saya sadar apa yang saya sampaikan barangkali bisa membuat orang berpikir bahwa saya tak punya prinsip karena tidak mendukung siapa-siapa. Mungkin saja mereka benar. Tapi jujur saja, sampai detik ini saya belum bisa menentukan siapa yang akan saya coblos nantinya. 

Dan saya sadar bahwa sebagai warga negara, saya harus memilih. Kemudian saya berdoa, semoga sebelum 17 April nanti saya sudah bisa menentukan pilihan, jangan sampai pihan itu adalah bukan keduanya.

Sejak malam itu, tak ada yang ngajak saya kumpul lagi. Kalaupun ada, saya bakal berpikir ulang untuk ikut serta. Namanya juga tahun politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun