Saling blok media sosial sudah dilakukan. Namun lagi-lagi banyaknya jalur komunikasi yang ada tidak mudah berhenti begitu saja. Sesekali masih ada bait-bait puisi yang tercipta dan mengetarkan jiwa.
Antara rasa dan logika saling berperang. Nafsu dan kebenaran berdilema. Menuntut pernyataan dan pelampiasan. Sujud-sujud panjang di malam sunyi tak berdaya menampung gejolak yang ada.
Hati yang resah, gelisah, galau dan merana ditumpahkannya dalam tangisan pilu meminta ketenangan dan kedamaian jiwanya.
Terjebak dalam cinta kepada orang yang tak disangkanya mampu memporakporandakan jiwanya, membuatnya butuh pendampingan. Ditumpahkannya rasa tersebut kepada pasangan hidupnya.
Rasa yang selama ini dipendamnya sendiri akhirnya terkuak. Tak sanggup dia memendamnya. Kebijakan dan kesabaran suaminya telah menuntunnya pada jalan kembali.
Walau suaminya sakit hati dan kecewa dengan kenyataan yang ada. Namun cinta dan kasihnya menginginkan istrinya untuk kembali. Apa ang sudah terjadi adalah sebuah kesalahan dan bersedia memaafkan.
Janji untuk tidak kembali berhubungan dengan dia yang membuat dirinya mendua diucapkannya. Rupanya rasa yang telah dialaminya itu tidak sehatusnya terjadi. Kesadaran itu membuat dirinya lebih mencinta dengan apa yang telah dipunyainya. Dia lepaskan harapannya untuk memiliki apa yang memang bukan miliknua.
Pelajaran tersebut memberikan kesadaran pada dirinya akan makna hidup yang lebih berarti. Hidup tidak sekedar menurutkan hawa nafsu, keinginan sesaat. Namun ada hal-hal yang harus tetap dijaganya dalam kerangka menuju tujuan hidup yang sebenarnya.