Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN

Seorang pembelajar yang Ingin terus mengasah diri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Mesti Pelit?

9 Oktober 2019   22:28 Diperbarui: 9 Oktober 2019   22:35 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kenapa mesti pelit? Bukankah hakekatnya harta kita adalah titipan? Bukankah kita bukan pemilik yang sebenarnya? Bukankah harta yang kita miliki akan dipertanyakan darimana dia berasal dan kemana dibelanjakan? Bukankah semakin banyak harta yang dikuasai akan memperberat perhitungan?

Akankah kita ingat semua kepunyaan kita? Akankah kita bisa menjawab darimana harta kita? Akankah kita bisa menjawab kemana harta kita dibelanjakan?

Benarkah harta yang kita miliki sekarang ini adalah harta kita yang sesungguhnya? Akankah harta yang kita miliki sekarang ini bisa menolong diri kita? Mungkinkah harta yang kita miliki memperberat perhitungan dan bahkan bisa jadi menjebloskan diri pada neraka yang panas apinya menyala-nyala dan menghancurlumatkan tubuh manusia hingga ke tulang belulangnya?

Tidakkkah terselip pada harta kita milik orang lain? Sudahkah kita tunaikan kewajiban kita yang pada hakekatnya adalah hak bagi orang lain? Pernahkan kita menghitung harta yang kita punyai, apakah sudah sampai batas nishobnya sehingga harus kita zakati?

Bagaimana kalau dalam harta kita itu masih ada hak orang lain tapi belum ditunaikan? Mungkinkah kita akan tersandung ke neraka gara-gara harta?  

Kenapa mesti pelit? 

Bukankah sudah sampai ke telinga kita perintah untuk bersedekah? Bukankah sedekah yang ikhlas pahalanya berlipat ganda? Sudah pernahkan kita mendengar peringatan dan nasehat tentang betapa pentingnya kita berderma? Tidakkah saat ini kita sudah menunaikannya? Ataukah masih kita genggam erat dan dihitung-hitung setiap hari?

Kenapa mesti pelit? 

Tidakkah kita mendengar bahwa sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat? Bukankah kita bisa bermanfaat juga pada orang lain dengan harta kita? Bagaimana kita memanfaatkan harta sehingga bisa menjadi sarana kebermanfaatan untuk umum?

Sudahkah kita mendengar bahwa sebaik-baik berderma salah satunya adalah memberi makanan? Kalau dengan harta yang kita punya, bisa kita belikan makanan, bukankah itu adalah sedekah terbaik? Kalau sudah pernah mendengar, tidakkah kita ingin melaksanakan? Kalau hanya sekedar niat, akankah jadi sebuah amalan?

Jangan karena kita sering mendengar bahwa niat baik itu sudah dicatat sebagai satu kebaikan, akhirnya membuat kita hanya sekedar berniat baik tapi tidak dilaksanakan, bukankah yang seperti ini hanya bisa dikatakan omong doang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun