Mohon tunggu...
Puja Ananda
Puja Ananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Puja

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Habib Luthfi: Ulama Besar Keturunan Nabi yang Menjadi Ketua Umum MUI Jateng hingga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI

24 Desember 2021   21:03 Diperbarui: 24 Desember 2021   21:08 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: instagram.com/habibluthfibinyahya

Maulana Habib Muhammad Luthfi atau yang lebih dikenal dengan Habib Luthfi, seorang dai, kiai, sayyid, dan ulama keturunan Nabi yang berasal dari Indonesia. Tahun 2019 lalu, Habib Luthfi diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan sebelumnya beliau sudah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia di daerah Jawa Tengah.

Habib Luthfi memiliki garis keturunan Nabi Besar Muhammad SAW. dari ibunya, Sayidah Al Karimah As Syarifah Nur bin Muhsin yang merupakan seorang perempuan dengan nasab Rasulullah (seorang syarifah), dan menikah dengan Al Habib Al Hafidz ‘Ali Al Ghalib bin Hasyim bin Yahya. Habib Luthfi dilahirkan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 10 November 1947 M di Senin pagi, atau dalam kalender Islam jatuh pada 27 Rajab 1367 H.

Berdasarkan cerita Kiai Zakaria, Habib Abu Bakar bin Muhammad as Segaf Gresik, seorang Ulama Besar, Wali Besar, Wali Qutbh pada zamannya, memberi nama pada beliau ketika beliau lahir. Menurut sumber, nasab Habib Luthfi juga masih bersambung ke Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati dan Sultan Abdul Fattah (Raden Fattah Demak) melalui jalur istri Habib Umar bin Thoha Indramayu yakni Syarifah Marinah binti Tubagus Hasan Qudsi.

Sedari kecil Habib Luthfi dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Beliau juga belajar dari paman-pamannya atau putra-putri Habib Hasyim yang alim, seperti Habib Yahya bin Hasyim, Habib Husein bin Hasyim, Syarifah Khadijah binti Hasyim yang terkenal sebagai singa podium (raja berpidato) dengan hidupnya yang sederhana. 

Di tahun 1959, ayahnya, Habib Ali wafat, sehingga Habib Luthfi tinggal bersama dengan pamannya (kakak Habib Ali) di desa Kliwed Kertasemaya, Indramayu, Jawa Barat, untuk nyantri. Saat itu usia beliau masih menginjak 12 tahun. Beliau juga ikut bertani di desa Kliwed untuk membantu ekonomi keluarganya.

Menginjak usia remaja, Habib Lutfi dinikahkan dengan Syarifah Salma binti Hasyim Hasyim yang masih tergolong kerabat (satu fam). Tepatnya pada 1 Muharram tahun 1973 M. Melalui pernikahannya, Habib Lutfi dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Syarif Muhammad Bahauddin, Syarifah Zaenab, Syarifah Fathimah, Syarifah Ummi Hanik, dan Sayyid Muhammad Husain Syarif Hidayatullah.

Sukron Ma’mun juga menuturkan bahwa Habib Ali dipercaya oleh tokoh masyarakat di sana untuk mengajar di Madrasah Diniyah. Namun setahun kemudian, pada 1960, beliau pindah ke pesantren Bondokerep, Cirebon. 

Tak lama setelah itu, Habib Luthfi mendapat beasiswa untuk belajar ke Hadrmaut di Yaman selama tiga tahun dan kembali lagi menyantri ke beberapa pesantren, seperti pesantren Kliwet Indramayu, di Tegal berguru kepada Kiai Said, dan di Purwokerto berguru dengan Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali. Beliau juga berguru pada ulama besar asal Lasem Rembang, Kiai Ma’shum atau Mbah Ma’shum.

Habib Luthfi ketika berguru dengan seseorang akan benar-benar memberikan segala rasa hormat dan rasa cintanya, sehingga selalu dianggap keluarga atau bahkan anak sendiri oleh gurunya, siapa pun itu. Seperti disaat menjelang wafatnya salah seorang guru besar Habib Lutfi, kiai Banjuri. Beliau diberitahu oleh Kiai Banjuri bahwa guru besar sebenarnya adalah orang lain, yakni KH. Muhammad Abdul Malik. Namun, Habib Luthfi menjawab bahwa yang dihadapannya saat itulah yang merupakan gurunya karena rasa cinta dan hormatnya yang besar terhadap gurunya.

Setelah wafatnya Kiai Banjuri, beliau didatangi oleh KH. Muhammad Abdul Malik yang berambut gondrong, dengan badan yang sedikit gempal dan tidak tinggi untuk berguru di Kedung Paruk Purwokerto. Habib Luthfi berguru kepada Mbah Malik selama 12 tahun yang akhirnya pemikiran dan perbuatan Mbah Malik sangat memengaruhi pemikiran dan perbuatan Habib Luhtfi sekarang ini. 

Hubungan keduanya sangat dekat dan erat, sampai ketika Mbah Malik wafat, Habib Luthfi sangat merasa terpukul dan sedih hingga beliau tidak mau keluar kamar selama beberapa hari dan terus menangis. Namun kesedihannya sirna saat suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW., yang kemudian menunjukkan keadaan Mbah Malik yang begitu baik setelah wafat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun