Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mimikri dalam Pikir: Anak Bukan Bunglon!

26 September 2020   08:46 Diperbarui: 26 September 2020   08:55 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kenapa sih, ada orangtua yang suka ngebanding-bandingin anaknya sama anak lain? giliran mau tak bandingin dengan orangtua lain malah gak mau"

Pertanyaan ini, menjadi tanda tanya pada temanku, pun padaku. Entah, apakah hal ini juga kamu alami atau tidak. Namun, seringkali aku mendapat pertanyaan seperti ini dan aku sendiri tak mampu untuk menjawabnya. Ya sebab, aku pun pernah atau bisa dikatakan sering berada di posisi mereka yang bertanya-tanya. Mengapa kemudian, sedikit atau bahkan banyak orangtua yang memilih untuk membandingkan anak satu dengan lainnya. Seolah, tak ada nyana untuk percaya bahwa setiap anak memang berbeda. Seakan, setiap anak harus seragam, salah bila beragam. Dituntut untuk sama, disalahkan bila berbeda. Kalau saja ada cara singkatnya untuk menjadi sama, pasti akan menyenangkan.

Tak perlu susah-susah memikirkan hingga menjadi beban pada pikiran. Obrolan ini mengalir saja saat aku dan temanku sedang duduk santai di bawah sebuah pohon, cukup teduh di siang hari yang panas itu dengan obrolan yang sedikit tidak beraturan.

"Eh Puj, liat ada bunglon," unjuk temanku.
"Hm, andai ya aku, kamu, dan setiap anak yang sering dibandingkan sama orangtuanya punya ilmunya bunglon barang sebentar, mimikri."

Sesaat kulontarkan kalimat itu, sudah tentu pandangan temanku langsung beralih padaku dengan raut menuntut penjelasan. Atau mungkin, kamu yang membaca tulisan ini juga melakukan hal yang sama padaku? Sebenarnya, kalimat itu spontan saja aku ungkapkan. Tiba-tiba saja muncul mimikri dalam pikir. Tentu, kamu yang sudah pernah bersekolah dasar, kamu yang sudah pernah belajar IPA atau sebutannya Biologi saat SMA tak asing dan paham dengan apa itu mimikri. Namun, kalau ternyata sudah lupa, aku akan coba ingatkan.

Kalau melihat dalam Wikipedia, mimikri berarti proses evolusi yang terjadi pada spesies untuk menjadi sama dengan spesies lainnya. Biasanya, mimikri menyerupai satu spesies sebagai salah satu cara menghindari bahaya seperti halnya bila berhadapan dengan predator. Agar lebih sederhana, coba saja kita bayangkan anak seperti halnya bunglon, dimana saat ia berhadapan dengan predator atau kondisi saat ia dibanding-bandingkan dengan anak lainnya tadi, dimana saat ia berada pada posisi tersudutkan yang tidak mengenakkan. Dimana anak bisa langsung berubah, menyerupai atau bahkan sama dengan apa yang diharapkan padanya tadi, menyesuaikan dengan keadaan.

Melihat lebih dalam mengenai, mengapa kemudian ada keadaan orangtua satu membandingkan anak satu dengan lainnya? Disamping, memang bergantung pada pendidikan dan pola mengasuh orangtua yang berbeda beda, namun juga ada hal dalam Psikologi yang dinamakan Keterwakilan Heuristik.

Kita mengetahui bahwa kalau ada orang pertama yang berpakaian serba putih, memakai peci, dan berjalan ke masjid, pasti kita menyapanya dengan 'Pak Haji', atau kalau orang orang kedua berpakaian sama ditambah memakai sorban dan berjenggot pasti kita menyapa dan menganggapnya sebagai seorang 'Kiai'. Padahal, belum tentu orang yang pertama benar sudah Haji dan orang kedua belum tentu seorang Kiai. Hanya saja benar, apabila dilihat dari luar, pakaian keduanya mewakili penampilan laiknya seorang yang sudah berhaji dan bagaimana seorang Kiai. Ini yang dinamakan sebagai keterwakilan heuristik, keadaan dimana penilaian berdasarkan tingkat kemiripan suatu stimuli dengan stimuli yang dibandingkan.

Barangkali hal ini yang juga dianggap wajar dimana ada keadaan, anak yang aktif, yang ceria, yang tanggap menjawab bila diberi pertanyaan dianggap sebagai anak yang cerdas. Anak yang jarang berbicara, yang lambat dalam berpikir, sering dianggap sebagai anak yang kurang cerdas. Dengan adanya hal ini, tidak masalah apabila ia yang berbeda tadi dianggap perlu untuk dirubah, namun yang perlu diperhatikan adalah cara yang digunakan oleh orangtua.

Kalau kita beri contoh pada masa pandemi sekarang, siapa disini yang ketika anak atau adiknya yang mendapatkan tugas dari sekolah dan sedikit lambat atau enggan dalam mengerjakan tugasnya, alih-alih dibimbing tapi malah dibanding-bandingkan dengan anak lain yang tidak sama dengannya? Dengan anak yang cepat dalam mengerjakan bangkali? Tentu, yang akan dirasakan oleh anak bukan lagi terpacu mengerjakan karena senang tapi sebab tekanan, sebab tertekan. Ingat, anak bukan bunglon.

Anak tidak bisa dengan singkat berubah tanpa adanya sebuah pembiasaan. Pembiasaan dilakukan tak bisa bila sendirian, harus dibawah bimbingan. Bimbingan tak bisa dilakukan dengan sembarangan. Pada anak usia dini, harus diberikan oleh orang yang membuat anak merasa aman dan nyaman.

Pada artikel yang aku tulis berjudul "Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan" disana aku menulis bahwa kebutuhan anak tidak hanya asupan jasmani tapi juga kebutuhan emosional berupa perhatian dan kasih sayang. Kembali menilik pada artikel lainnya yang berjudul "Orangtua Nyinyir, Bakat Anak Terusir" aku mencoba saja memberikan tanggapan perihal bagaimana seharusnya sikap orangtua dalam menghargai setiap apa yang ada dalam pribadi seorang anak. Sebab, coba saja kita membayangkan dengan sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang anak.

Pertama, sudah tentu pola pikir seseorang dimulai pada saat ia masih berusia dini, dimana otak anak pun bisa berpikir laiknya yang aku contohkan sebagai keterwakilan heuristik tadi. Anak dapat mengambil kesimpulan apabila orangtuanya bertindak seperti contoh diatas tadi kepadanya adalah seorang orangtua yang jahat dan ia akan membencinya. Anak yang diberi label, juga akan memberi label pada orangtua.

Pada sistem kognitif, kita acap kali mendengar yang namanya penalaran deduktif, induktif atau silogisme. Keadaan dimana kita berpikir dari khusus dan mengambil kesimpulan yang umum, berpikir dari umum dan mengambil kesimpulan yang khusus, atau cara berpikir atau penarikan kesimpulan yang terjadi atas premis umum, premis khusus dan simpulan yang disebut silogisme.

Maksudnya seperti ini, pada pikiran pertama anak mengetahui bahwa sikap membandingkan-bandingkan adalah sikap yang tidak baik, ini kita anggap sebagai premis umum. Dan pada pikiran kedua, anak tahu bahwa orangtuanya  adalah orang yang yang suka membanding-bandingkan ia dengan anak lainnya, ini disebut sebagai premis khusus. Oleh karena itu, tidak akan menutup kemungkinan anak mengambil kesimpulan bahwa orangtuanya bukan orangtua yang memiliki sikap baik. Dan, apabila hal ini terjadi secara berkelanjutan dari mulai anak berusia dini hingga dewasa, bukan tak mungkin orangtua akan kehilangan kepercayaan oleh anak.

Dengan adanya hal ini, bukan tak mungkin akan mengakibatkan anak juga akan berbalik membanding-bandingkan orangtua dengan orangtua lainnya yang bersikap seperti orangtuanya manusia. Salah satu sikap tadi adalah sebuah ciri dari toxic parents yang mana racun yang dimiliki orangtua tadi sangat bisa diwariskan terhadap anak. Anak juga memiliki pikir untuk menalar dan mengembangkan pikirannya sesuai dengan keadaan memberinya pengalaman untuk belajar.

Lantas, diakhir apakah yang dapat kita simpulkan, apa hubungannya antara mimikri dan penalaran pada anak tadi? Anggapannya seperti ini, anggap saja anak sebagai bunglon, dimana bunglon menyamarkan diri atau mimikri pada saat ia terancam dan untuk melindunginya dari predator. Keadaan dimana bunglon merasa terancam tadi terjadi ketika ia telah melalui sebuah proses yang namanya penalaran. Sebab adanya stimulus, maka ada yang namanya respon. 

Sebab adanya predator, maka perlu kiranya untuk melakukan sebuah sikap perlindungan. Sama halnya seperti anak, anak mampu menalar, saat-saat kapan saja ia merasa terancam.

Sikap-sikap seperti apa dari orangtua yang membuatnya merasa tak nyaman dan aman. Keadaan dimana seharusnya ia dapat menyesuaikan tapi ternyata kesusahan. Karena apa? Sayangnya, anak bukanlah bunglon. Anak tidak bisa mimikri atau berubah ketika dibutuhkan. Seringkali anak hanya diam karena tertekan, atau berontak yang tidak menyelesaikan permasalahan.

Benar adanya, proses penalaran dalam otak anak belum sempurna. Oleh sebab itu perlu adanya yang bengkok itu diluruskan. Bukan malah terbalik, orangtua yang menalar dengan bengkok, dan mematahkan penalaran lainnya. Semoga setiap orangtua mampu mimikri dalam pikir dengan semestinya. Bagaimana tidak menuntut seseorang untuk berubah terlebih pada anak usia dini sedangkan sendirinya enggan melihat ke dalam.

Semoga tulisan yang sedikit  membingungkan ini mampu dipahami dan bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun