Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mimikri dalam Pikir: Anak Bukan Bunglon!

26 September 2020   08:46 Diperbarui: 26 September 2020   08:55 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak tidak bisa dengan singkat berubah tanpa adanya sebuah pembiasaan. Pembiasaan dilakukan tak bisa bila sendirian, harus dibawah bimbingan. Bimbingan tak bisa dilakukan dengan sembarangan. Pada anak usia dini, harus diberikan oleh orang yang membuat anak merasa aman dan nyaman.

Pada artikel yang aku tulis berjudul "Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan" disana aku menulis bahwa kebutuhan anak tidak hanya asupan jasmani tapi juga kebutuhan emosional berupa perhatian dan kasih sayang. Kembali menilik pada artikel lainnya yang berjudul "Orangtua Nyinyir, Bakat Anak Terusir" aku mencoba saja memberikan tanggapan perihal bagaimana seharusnya sikap orangtua dalam menghargai setiap apa yang ada dalam pribadi seorang anak. Sebab, coba saja kita membayangkan dengan sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang anak.

Pertama, sudah tentu pola pikir seseorang dimulai pada saat ia masih berusia dini, dimana otak anak pun bisa berpikir laiknya yang aku contohkan sebagai keterwakilan heuristik tadi. Anak dapat mengambil kesimpulan apabila orangtuanya bertindak seperti contoh diatas tadi kepadanya adalah seorang orangtua yang jahat dan ia akan membencinya. Anak yang diberi label, juga akan memberi label pada orangtua.

Pada sistem kognitif, kita acap kali mendengar yang namanya penalaran deduktif, induktif atau silogisme. Keadaan dimana kita berpikir dari khusus dan mengambil kesimpulan yang umum, berpikir dari umum dan mengambil kesimpulan yang khusus, atau cara berpikir atau penarikan kesimpulan yang terjadi atas premis umum, premis khusus dan simpulan yang disebut silogisme.

Maksudnya seperti ini, pada pikiran pertama anak mengetahui bahwa sikap membandingkan-bandingkan adalah sikap yang tidak baik, ini kita anggap sebagai premis umum. Dan pada pikiran kedua, anak tahu bahwa orangtuanya  adalah orang yang yang suka membanding-bandingkan ia dengan anak lainnya, ini disebut sebagai premis khusus. Oleh karena itu, tidak akan menutup kemungkinan anak mengambil kesimpulan bahwa orangtuanya bukan orangtua yang memiliki sikap baik. Dan, apabila hal ini terjadi secara berkelanjutan dari mulai anak berusia dini hingga dewasa, bukan tak mungkin orangtua akan kehilangan kepercayaan oleh anak.

Dengan adanya hal ini, bukan tak mungkin akan mengakibatkan anak juga akan berbalik membanding-bandingkan orangtua dengan orangtua lainnya yang bersikap seperti orangtuanya manusia. Salah satu sikap tadi adalah sebuah ciri dari toxic parents yang mana racun yang dimiliki orangtua tadi sangat bisa diwariskan terhadap anak. Anak juga memiliki pikir untuk menalar dan mengembangkan pikirannya sesuai dengan keadaan memberinya pengalaman untuk belajar.

Lantas, diakhir apakah yang dapat kita simpulkan, apa hubungannya antara mimikri dan penalaran pada anak tadi? Anggapannya seperti ini, anggap saja anak sebagai bunglon, dimana bunglon menyamarkan diri atau mimikri pada saat ia terancam dan untuk melindunginya dari predator. Keadaan dimana bunglon merasa terancam tadi terjadi ketika ia telah melalui sebuah proses yang namanya penalaran. Sebab adanya stimulus, maka ada yang namanya respon. 

Sebab adanya predator, maka perlu kiranya untuk melakukan sebuah sikap perlindungan. Sama halnya seperti anak, anak mampu menalar, saat-saat kapan saja ia merasa terancam.

Sikap-sikap seperti apa dari orangtua yang membuatnya merasa tak nyaman dan aman. Keadaan dimana seharusnya ia dapat menyesuaikan tapi ternyata kesusahan. Karena apa? Sayangnya, anak bukanlah bunglon. Anak tidak bisa mimikri atau berubah ketika dibutuhkan. Seringkali anak hanya diam karena tertekan, atau berontak yang tidak menyelesaikan permasalahan.

Benar adanya, proses penalaran dalam otak anak belum sempurna. Oleh sebab itu perlu adanya yang bengkok itu diluruskan. Bukan malah terbalik, orangtua yang menalar dengan bengkok, dan mematahkan penalaran lainnya. Semoga setiap orangtua mampu mimikri dalam pikir dengan semestinya. Bagaimana tidak menuntut seseorang untuk berubah terlebih pada anak usia dini sedangkan sendirinya enggan melihat ke dalam.

Semoga tulisan yang sedikit  membingungkan ini mampu dipahami dan bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun