Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Mencela!

1 Februari 2016   19:08 Diperbarui: 1 Februari 2016   19:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Foto: Quickmeme.com "][/caption]

Perang Shiffin (sekarang Suriah) dikenal sebagai salah satu sejarah kelam umat Islam. Sedikitnya 70 ribu umat muslim menjadi korban dalam perang saudara itu.

Perang yang terjadi pada 657 Masehi dilatarbelakangi perbedaan pendapat (politik) antara dua sahabat nabi Sayyidina Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Terutama setelah terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan.

Dalam perang Shiffin, Muawiyah mengerahkan sekitar 120 ribu pasukan. Sementara Sayyidina Ali menerjunkan 90 ribu tentara. Korban perang dari kedua kubu sekitar 70 ribu orang. 45 ribu dari kubu Muawiyah dan 25 ribu dari kubu Sayyidina Ali. Korban perang semuanya muslim sejati, bukan Islam abal-abal atau Islam KTP.

Pertempuran yang menyebabkan puluhan ribu umat Islam itu berakhir imbang sehingga membuat kedua kubu berunding dan kemudian berdamai. Sayangnya upaya perdamaian dilakukan setelah banyak umat muslim tewas. Hingga saat ini, peristiwa ini masih menjadi kontroversi besar dikalangan umat Islam.

Selain perang Shiffin, perang Jamal juga terjadi antara sesama muslim. Di perang ini, Siti Aisyah (istri Rasulullah) berperang melawan kubu Sayyidina Ali sebagai kepala pemerintahan yang sah. Korbannya belasan ribu umat muslim. Bayangkan, sahabat nabi yang pernah bertemu dan mencium tangan Rasulullah yang mulia berperang "hanya" karena perbedaan pendapat soal politik kekuasaan.

Kalau sebagian ulama zaman sekarang, beda pendapat baik masalah agama, perbedaan metode dakwah, atau masalah politik, paling-paling cuma saling sindir, saling cela, menghujat dan merasa paling benar sendiri. Kita patut bersyukur karena para ulama tersebut cuma mengajarkan cara mencela, menyindir, dan menghina sesama ulama lain yang tidak sependapat. Yang patut diapresiasi karena mereka tidak mengajarkan cara berperang.

Jadi, tradisi mencela dan saling cela yang diajarkan sebagian ulama populer di Indonesia itu sebenarnya sangat bagus. Terutama untuk persatuan umat Muslim di Indonesia. Mari mencela!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun