Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Interoperabilitas Misi SAR Laut pada Kecelakaan Penerbangan dan Peran Kesehatan Penyelaman

17 November 2019   09:49 Diperbarui: 17 November 2019   09:49 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto situasi di lokasi penemuan VCR Pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang (Foto Kompas.com 14 Januari 2019)

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya mengungkapkan laporan final hasil investigasi terhadap insiden kecelakaan pesawat maskapai Lion Air JT 610 ke publik. Ada sembilan temuan yang diungkap KNT terkait dengan kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Air, yang terjadi setahun silam (tekno.kompas.com, 25 Oktober 2019).

Berita tersebut sayup berhembus, kalah dengan riuhnya wacana tentang susunan Kabinet Indonesia Maju, khususnya tentang Mendikbud dan Menag yang profilnya  di luar kelaziman. Demikian dinamisnya situasi nasional sehingga suatu peristiwa juga segera tergilas hilang oleh peristiwa lain, khususnya situasi pemilu yang membuat masyarakat terpolarisasi oleh pilihan politik.

Masyarakat segera melupakan musibah dramatis yang  sebenarnya juga memerlukan perhatian serius terkait evaluasi dan upaya preventif agar tidak terulang lagi dari aspek penerbangan maupun upaya SAR yang aman. Tercatat bahwa misi SAR pesawat Lion Air JT 610 ditandai dengan kerugian meninggalnya seorang penyelam relawan saat melaksanakan tugas.

Setiap peristiwa musibah selalu mengundang perhatian terkait nilai kemanusiaan, apalagi bila terjadi korban massal, meskipun telah penulis sebutkan hal itu segera lepas dari atmosfir perbincangan karena demikian berkelindannya berbagai arus informasi. Demikian pula musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT 610  setahun yang lalu juga menyita perhatian masyarakat karena pemberitaan interoperabilitas berbagai sumber daya nasional yang dikerahkan untuk proses pertolongan dan pencariannya, meskipun kemudian lenyap tergusur berita tahun politik.

Sumber daya tersebut berasal dari berbagai instansi pemerintah, potensi masyarakat dan relawan yang secara operasional di bawah kendali Basarnas. Salah satu sumber daya yang diperlukan dalam proses SAR dan upaya penemuan Voice Cockpit Recorder (VCR) dan Flight Data Recorder (FDR) adalah profesi penyelam.

Dalam mendukung misi SAR, pencarian FDR dan VCR, TNI AL mengerahkan alut sista kapal perang jajaran Pushidrosal, serta personel berkualifikasi pasukan khusus dari Dinas penyelamatan Bawah Air (Dislambair), Satkopaska Koarmada I dan personel Yontaifib Pasmar 1 untuk mendukung misi SAR dan pencarian FDR dan VCR. Sebagai unit elit yang dibentuk untuk melaksanakan operasi khusus, tentu kendala, bahaya dan ancaman yang mengakibatkan kegagalan operasi dipertimbangkan dengan cermat oleh personel satuan-satuan tersebut.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan resiko kegagalan operasi penyelaman menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana penyelaman, diantaranya adalah lingkungan atas air maupun bawah air. Kondisi permukaan air meliputi cuaca, arah angin, arah kecepatan arus serta tinggi ombak dan sinar matahari.

Sedangkan kondisi lingkungan bawah air yang menjadi dasar penentuan pemilihan personel, peralatan dan teknik penyelaman adalah komposisi dasar laut, kejernihan air, keceparan arus, temperatur, dan berat jenis air. Hal-hal tersebut dapat membahayakan bukan saja penyelam, namun juga kapal yang menjadi pos komando taktis operasi penyelaman. Dengan demikian diperlukan koordinasi yang baik antara komandan penyelaman dalam bekerja sama dengan komandan kapal sebagai penentu olah gerak kapal untuk mendukung keberhasilan operasi penyelaman.

Perencanaan operasi penyelaman

Kesuksesan serta keamanan operasi penyelaman ditentukan oleh penyusunan rencana yang matang. Berbagai faktor harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana penyelaman yaitu tugas dan tujuan penyelaman, situasi dan kondisi lingkungan penyelaman, kualifikasi penyelam serta peralatan selam yang memadai dan sesuai tujuan penyelaman.

Operasi penyelaman untuk tujuan SAR hanyalah salah satu dari dari berbagai jenis penyelaman menurut penggolongan tujuan. Dikenal beberapa jenis penyelaman menurut tujuannya yaitu penelitian ilmiah, fotografi, penyelaman goa di bawah air, penyelaman kawasan kutub, SAR, Salvage (mengangkat atau memindahkan material yang mengganggu alur pelayaran), penyelaman militer dan pencarian benda-benda berharga yang terpendam di dasar laut.

Selain berdasar tujuan, penyelaman juga dibedakan berdasar alat yang dipakai, menurut ketinggian dari permukaan laut dan menurut jenis gas pernafasan yang dipergunakan. Sebagai contoh menyelam di danau atau sungai yang terletak ketinggian pegunungan (high altitude diving) memerlukan penghitungan prosedur dekompresi yang berbeda dengan penyelaman di kedalaman air laut.

Meskipun tergantung tujuannya, operasi penyelaman secara umum akan melibatkan personel yang terdiri dari berbagai kualifikasi dan ragam jabatan. Organisasi penyelaman terdiri atas komandan penyelaman, pengawas, penyelam, tim pendukung (pembantu umum, pencatat waktu, teknisi, dokter ahli dan paramedis kesehatan penyelaman, serta perwira dan anak buah kapal) dan koordinator ilmiah pada operasi penyelaman untuk tujuan riset ilmiah.

Dua prajurit Intai Para Amfibi Marinir TNI AL penemu FDR pesawat Lion Air JT 610 (foto Puspen TNI  makassar. tribunnews.com 3/11/2018)
Dua prajurit Intai Para Amfibi Marinir TNI AL penemu FDR pesawat Lion Air JT 610 (foto Puspen TNI  makassar. tribunnews.com 3/11/2018)

Susunan organisasi operasi penyelaman menunjukkan adanya standar prosedur operasi sebagai bagian dari manajemen resiko. Resultante berbagai variabel resiko dari aspek lingkungan, status kesehatan dan kecakapan penyelam, kondisi alat perlengkapan serta teknik penyelaman dapat berupa kerugian material maupun kematian penyelam. Oleh karena itu kehadiran tim dukungan kesehatan untuk mengatasi problem kesehatan penyelam, khususnya kegawatdaruratan yang mengancam jiwa penyelam merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan.

Pada operasi SAR dan pencarian VCR serta FDR pesawat Lion Air JT 610, Satgas TNI AL menyertakan unsur kesehatan yang terdiri dari personel medis dokter dan paramedis serta teknisi kesehatan penyelaman dan hiperbarik. Tim medis dilengkapi dengan ambulans hiperbarik yang onboard di KRI Leuser 924. Tim kesehatan penyelaman dari Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL di Surabaya dan RSAL dr. Mintoharjo Jakarta terlibat mendukung kegiatan yang berhasil menemukan FDR pada 3 November  2018 dan menemukan VCR pada 14 Januari 2019.

Para penyelam Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair) Koarmada I yang menemukan VCR pesawat  Lion Air JT 610 (kompas.com 14 Januari 2019)
Para penyelam Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair) Koarmada I yang menemukan VCR pesawat  Lion Air JT 610 (kompas.com 14 Januari 2019)
Peran kesehatan penyelaman dan hiperbarik

Pada dasarnya manusia adalah mahluk darat dan hidup di lingkungan dengan tekanan 1 atmosfir, yaitu tekanan udara di atas permukaan laut. Pada lingkungan di bawah air, semakin dalam melakukan penyelaman, seorang penyelam akan mengalami tekanan yang semakin meningkat; terpapar suhu yang semakin dingin serta situasi yang semakin gelap. Oleh karena terhadap setiap penyelam, bukan hanya penyelam militer, para pekerja Caisson atau pun penyelam komersial, para penyelam untuk olahraga pun harus memenuhi persyaratan kesehatan fisik dan mental.

Terdapat kontra indikasi absolut yaitu kondisi kesehatan sesorang yang menyebabkan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk menjadi penyelam. Juga terdapat kondisi kesehatan tertentu yang membuat seorang calon penyelam tidak memenuhi syarat yang bersifat sementara. Selain pemeriksaan kesehatan bagi calon penyelam, terhadap mereka yang sudah berstatus penyelam aktif pun diberlakukan ketentuan pemeriksaan kesehatan berkala.

Oleh karena itu seyogyanya para penyelam aktif memiliki Kartu Kesehatan Penyelam yang ditandatangani dokter. Hasil pemeriksaan kesehatan berkala tersebut dapat berupa rekomendasi yang menyatakan bahwa seorang tidak cakap menyelam permanen dan sementara. Mereka yang akan dan setelah melakukan perjalanan dengan pesawat terbang pun diberlakukan pembatasan menyelam.

Maka keberadaan dokter kesehatan penyelaman dan hiperbarik maupun dokter spesialis kedokteran kelautan menjadi penting dalam upaya pembinaan kesehatan penyelam dalam rangka mendukung pengembangan olahraga bawah air dan upaya kesehatan serta keselamatan kerja para penyelam komersial dan penyelam militer. Untuk memenuhi kebutuhan internal TNI AL melalui Pusat Pendidikan Kesehatan Kodiklat TNI AL pernah memiliki program khusus pendidikan perwira kesehatan penyelaman dan hiperbarik selama 3 bulan. Materi kesehatan penyelaman tersebut kini terintegrasi dalam Pendidikan Perwira Fungsi Kesehatan (Dikpafungkes) selama 6 bulan sebagai bagian dari pendidikan pengembangan.

Lulus dari program pendidikan pengembangan tersebut, para dokter TNI AL memiliki kewenangan diantaranya adalah melakukan pembinaan kesehatan para penyelam termasuk kewenangan menyatakan status kecakapan penyelam, melakukan dukungan pada tugas operasi tempur dan latihan penyelaman TNI/TNI AL serta bertindak sebagai tenaga medis operator Ruang Udara Bertekanan Tinggi ( chamber hiperbarik) dalam penanganan penyakit akibat penyelaman maupun berbagai kegiatan kesehatan keangkatanlautan.  Namun bukan hanya dokter pendidikan brevet kesehatan penyelaman dan hiperbarik, sebagai negeri bahari yang ingin menjadi poros maritim dunia, Indonesia memerlukan kehadiran dokter spesialis kedokteran kelautan yang jumlahnya relatif masih sedikit dibandingkan besarnya potensi yang harus dikelola.

Pemeriksaan kesehatan pra-penyelaman terhadap penyelam TNI AL yang terlibat dalam Multilateral Naval Exercise Komodo 2018 (dokumen foto pribadi).
Pemeriksaan kesehatan pra-penyelaman terhadap penyelam TNI AL yang terlibat dalam Multilateral Naval Exercise Komodo 2018 (dokumen foto pribadi).
Interoperabilitas dan sinergitas operasi penyelaman

Setiap kali terjadi musibah penerbangan, maskapai sebagai operator, masyarakat pengguna transportasi, insan yang terlibat upaya SAR dan keluarga korban selalu berharap agar musibah tersebut adalah yang terjadi terakhir. Harapan ini memotivasi dan menjadi beban setiap pihak yang terlibat operasi penyelamatan korban untuk berusaha keras menemukan alat bukti yang mendukung investigasi penyebab kecelakaan, diantaranya FDR dan VCR. Dalam hal kecelakaan penerbangan terjadi di laut maka operasi penyelaman merupakan alternatif yang mungkin paling dibutuhkan. Namun dihadapkan kepada keterbatasan sumber daya operasional, maka interoperabilitas dan sinergitas berbagai institusi ditambah  potensi masyarakat merupakan hal yang realistis dalam mewujudkan tujuan operasi penyelaman yang aman.

Untuk itu beberapa hal berikut patut dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan dalam kegiatan operasi SAR, khususnya SAR di laut yang melibatkan kegiatan penyelaman:

a. Memilah jenis penyelam khususnya para sukarelawan apakah berkualifikasi penyelam dasar (kelas III), penyelam komersial atau penyelam saturasi untuk membatasi kedalaman maksimal mereka diijinkan menyelam.

b. Mewajibkan para sukarelawan menyerahkan data status kesehatan  yang juga memuat  aktifitas penyelaman yang terakhir.

c. Menempatkan seluruh penyelam dalam satu kapal untuk memudahkan distribusi tugas, pengawasan dan pemantauan kondisi kesehatan terkait dengan resiko penyelaman berulang (repetitive dive). Setiap hari sebelum kegiatan penyelaman dimulai harus dilaksanakan pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh penyelam.

d. Menyiapkan tim medis (dokter dan perawat) berkualifikasi kesehatan penyelaman dan dokter umum serta ambulan hiperbarik. Kesehatan TNI AL selalu siap memberi dukungan kepada satuan operasional TNI AL.

e. Bila tidak memugkinkan menempatkan penyelam dalam satu kapal, maka diwajibkan seluruh pemimpin kelompok atau komandan tim penyelam untuk mengetahui di kapal mana posisi tim kesehatan dan ambulan hiperbarik berada.

f. Interoperabilitas dan sinergitas melibatkan berbagai institusi dengan berbagai kemampuan yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Beberapa institusi merupakan operator kapal yang pada tahap awal SAR akan lebih berfungsi sebagai sarana transportasi, penampung korban dan temuan material pesawat. Khusus untuk pencarian lokasi FDR dan VCR dibebankan kepada kapal riset Hidro-Oseanografi Pushidrosal TNI AL  atau kapal riset KR Baruna Jaya BPPT yang dilengkapi teknologi relevan dengan kebutuhan tersebut.

Berdasarkan kepentingan tersebut bukan berarti setiap operator kapal institusi pemerintah (Basarnas, KKP, KPLP, Polair, Bakamla) lalu berupaya melengkapi atau mengadakan kapal dengan spesifikasi teknologi seperti itu. Hal ini akan membuat anggaran negara tidak efisien karena terbebani beaya pengadaan dan pemeliharaan serta tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi institusi. Cukuplah mengedepankan interoperabilitas dan sinergitas dengan saling melengkapi dalam melaksanakan misi kemanusiaan.    

(Ditulis untuk menghormati dan mengenang jasa Sahrul, relawan penyelam yang gugur dalam tugas misi SAR pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang)

Pudji Widodo

Sidoarjo 151119.

Sumber :

1. Lakesla. "Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik". 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun