Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habibie, Inspirator Rekonsiliasi Indonesia - Timor Leste

21 September 2019   07:35 Diperbarui: 21 September 2019   09:11 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustri beberapa buku yang mengulas Timor Leste di perpusrakaan pribadi penulis, foto pribadi)

Apa yang sehari-hari kita sebut sebagai kebetulan atau keberuntungan, sebenarnya menunjukkan tak ada yang pernah lepas lepas dari campur tangan Tuhan atas segala peristiwa kehidupan. 

Demikian pula bila kita menyaksikan rekaman video kunjungan mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao kepada mantan presiden RI ke 3, BJ Habibie yang sedang sakit (kompas.com, 12 September 2019). 

Tergambar dalam video tersebut kedua tokoh ini bertemu berpelukan sambil menangis dan itu sangat menginspirasi.

Beruntung dan kita bersyukur Tuhan masih mengijinkan kedua tokoh ini berjumpa sebelum BJ Habibie meninggal dunia tanggal 11 September 2019. Pertemuan terakhir dua tokoh ini menjadi momen yang mewakili iktikad kedua bangsa melaksanakan upaya rekonsiliasi dan membangun kepercayaan sebagai negara bertetangga.

Awal luka dan kecewa

Sekelompok veteran dan purnawirawan TNI  penghuni perumahan Kompleks Wisma Seroja Bekasi Utara yang pernah bertugas dalam operasi Seroja di Timor Timur (Timtim), bersama-sama membakar piagam dan tanda kehormatan satyalencana seroja yang dianugerahkan pemerintah kepada mereka. 

Turut pula dalam aksi tersebut sejumlah warga Timor Timur yang tergabung dalam Uni Timor Aswain (Liputan6.com, 21 Mei 2002). Hal tersebut sebagai ungkapan kekecewaan setelah PBB resmi menyerahkan kekuasaan transisi yang dipegangnya kepada pemerintah definitif Republik Demokratik Timor Leste.

Luka hati dan kekecewaan para veteran Seroja bermula dan sebagai dampak dari serangkaian proses yang diawali dengan diajukannya proposal jajak pendapat untuk rakyat Timor Timur oleh Habibie pada awal 1999. 

Hal ini diikuti dengan kesepakatan tripartit Indonesia, Portugal dan PBB pada Mei 1999.  Selanjutnya PBB pada Juni 1999, membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) sebagai penanggung jawab pelaksanaan jajak pendapat yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999. 

Bentrok kelompok prokemerdekaan dan prointegrasi dalam menyikapi opsi pilihan tersebut tak terhindarkan dan berkembang menjadi rusuh massa.

Tanggal 6 September 1999, Presiden Habibie memutuskan memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur karena ekskalasi konflik kelompok prokemerdekaan dan kelompok prointegrasi. 

Pemerintah menunjuk Mayjen Kiki Syahnakri sebagai Penguasa Darurat Militer, untuk menangani terjadinya kerusuhan di seluruh wilayah Timor Timur pasca jajak pendapat yang mutlak dimenangi kelompok prokemerdekaan <1>.

Dalam bukunya "Timor Timur, Untold Story", Kiki Syahnakri berpendapat bahwa saat itu gagasan dan semangat untuk memberikan status otonomi khusus kepada Timor Timur mendapat sambutan positif dari kelompok prointegrasi maupun prokemerdekaan. 

Meskipun secara eksplisit belum menyatakan setuju, pengganti Xanana Gusmao, Konis Santana melalui jaringan klandestin menghubungi otoritas TNI dan pemerintah di Dili untuk mengetahui perkembangan konsep otonomi khusus (2013 : 211).

Perkembangan dinamika interaksi pihak yang terlibat konflik bersenjata, sebenarnya selaras dengan perkembangan dinamika di meja perundingan di PBB. 

Sampai agustus 1998, materi perundingan masih hanya usulan usulan otonomi yang diperluas, meski menurut Porrugal masih dengan syarat hal tersebut adalah transisi sebelum menentukan nasipnya sendiri, yang tentu saja ditolak Ali Alatas.

Sampai kemudian terjadi keputusan pemerintah yang bersejarah tentang masa depan Timor Timur, bukan hanya satu opsi tetapi menawarkan langsung dua opsi pilihan. 

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999, pemerintah mengumumkan alternatif penyelesaian yaitu apabila usulan status khusus dengan otonomi luas ditolak, diusulkan kepada wakil rakyar hasil Pemilu 1999 agar Timtim secara terhormat dan damai berpisah dari NKRI.

Mengeluarkan kerikil dalam sepatu.

Bila kita komparasi dengan perjalanan kemerdekaan RI, tentu apa yang dialami, dirasakan dan dicita-citakan rakyat Timor Timur adalah hal yang wajar.  Ketika Jepang kalah dalam PD-II, para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan momentum itu sebagai kekosongan kekuasaan penjajah dan segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. 

Demikian pula sebagian rakyat Timor Timur menggunakan momen situasi revolusi bunga di Portugal, serta tindakan Portugal meninggalkan koloninya menjadi wilayah tak berpemerintahan sebagai peluang menyatakan kemerdekaan. 

Maka momen itupun tidak disia-siakan kelompok pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Fretilin untuk mendeklarasikan berdirinya Negara Republik Demokratik Timor Timur pada 28 November 1975.  

Hal ini ditentang sebagian rakyat Timor Timur yang tergabung pada partai Apodeti, UDT, Kota dan Trabalista yang berkeinginan untuk integrasi dengan Indonesia. 

Kelompok gabungan ini juga menyatakan proklamasi tandingan bergabung dengan Indonesia melalui Deklarasi Balibo tanggal 30 Nopember 1975 <2>. 

Adanya pergolakan  di Timor Timur ditambah  dengan kostelasi politik saat itu  untuk mengimbangi pengaruh komunis dan restu Amerika, maka Indonesia mengambil peran memfasilitasi proses menuju INTEGRASI dengan memobilisasi kekuatan ABRI masuk ke wilayah bekas koloni Portugal itu. Suatu aksi yang oleh pejuang Fretilin Timor Timur disebut sebagai INVASI.

Maka meskipun telah menjadi bagian dari NKRI sejak Juli 1976,  operasi militer digelar,  tokoh pejuang Xanana Gusmao tertangkap dan  mendekam dalam tahanan LP Cipinang, digelontor dengan kucuran anggaran pembangunan yang membuat cemburu provinsi lain, para pejuang kemerdekaan Timor Timur  yang dalam kaca mata TNI disebut sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) tetap melakukan perlawanan sporadis.

Selain perlawanan bersenjata, dilakukan perlawanan di forum internasional dan agenda sidang  PBB serta dialog Indonesia dan Portugal yang tak kunjung tuntas. Sebuah situasi yang oleh Menlu Alatas disebut dengan ibarat "kerikil dalam sepatu".  

Timor Timur menjadi "kerikil" yang membuat Ali Alatas sering frustrasi mengatasi kecaman internasional, khususnya setelah insiden Santa Cruz. Kerikil itu juga mengganggu kinerja pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh Indonesia.

B J Habibie yang memutuskan mengeluarkan kerikil dalam sepatu tersebut. Jika wilayah  Timor Timur lepas dari Indonesia, maka pemerintah tidak akan dibebani lagi oleh segala persoalan Timtim dan untuk memasuki milenium baru yang tinggal 11 bulan pemerintah akan berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi untuk semua. Saran Habibie, berikan kemerdekaan dan kita konsentrasi pada 26 provinsi yang sudah cukup banyak masalah. 

Prinsip Habibie "Bila ternyata saudara-saudara kita di Timtim tidak kerasan untuk bersama dengan saudara-saudaranya melaksanakan pembangunan, maka baiklah kita berpisah sebagai kawan <3>. Suatu upaya terhormat dan untuk menunjukkan prinsip yang dipegang teguh Habibie bahwa Indonesia bukan penjajah.

Membangun masa depan

Xanana yang ditangkap pasukan ABRI pada tanggal 20  November 1992 akhirnya dibebaskan pada September 1999 sebagai bagian dari kebijakan Presiden Habibie membebaskan para tahanan politik dan aktualisasi berpisah secara baik-baik sebagai kawan. 

Barangkali hal ini yang mendasari ikatan batin kedua tokoh besar ini, sehingga pertemuan antara mereka yang terakhir sebelum BJ Habibie meninggal menjadi demikian dramatis. Sebuah pertemuan yang mewakili gambaran situasi rekonsiliasi dua negara. 

Tentang rekonsiliasi negara yang berseteru, Julio Tomas Pinto mengamati adanya dua fenomena pengalaman hubungan negara koloni dan bekas jajahannya di afrika dan asia. 

Pertama membangun hubungan harmonis bertahap karena adanya luka lama yang tak terpulihkan dan kedua, ketegangan antar negara berlanjut karena luka dan derita yang sukar terlupakan dan kebencian yang tertanam dalam masyarakatnya.  <4>. 

Presiden SBY pun mengatakan bahwa Indonesia dan Timor Leste sama-sama memiliki sejarah yang menyakitkan. Banyak nyawa yang hilang, juga properti dan kebanggaan nasional yang tersakiti (kompas, 20 Maret 2012). Namun yang penting selanjutnya " hubungan antara Indonesia dan Timor Leste menawarkan  beberapa pelajaran berguna bagi perdamaian" (Tomas Pinto, 2018 : 128). 

Tentu saja pilihan yang tepat adalah mewujudkan perdamaian, memulihkan luka dan membangun hubungan Indonesia dengan Timor Leste yang harmonis secara bertahap.

(KRI dr.  Soeharso 990 sandar di pelabuhan Dili untuk melaksanakan misi pelayanan kesehatan di Timor Leste pada Januari 2016, foto dokumen pribadi) 
(KRI dr.  Soeharso 990 sandar di pelabuhan Dili untuk melaksanakan misi pelayanan kesehatan di Timor Leste pada Januari 2016, foto dokumen pribadi) 
Pelajaran berguna bagi perdamaian Indonesia dan Timor Leste ditindaklanjuti dengan langkah konstruktif. Pada Januari 2016, penulis tergabung dalam kegiatan bantuan pelayanan kesehatan untuk Timor Leste. Indonesia melalui Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI mengirim misi kemanusiaan menggunakan kapal bantu rumah sakit KRI dr. Soeharso 990. 

Selama satu minggu, KRI SHS 990 bersandar di dermaga Dili , personel medis TNI melayani masyarakat termasuk diantaranya para veteran Angkatan Bersenjara Timor Leste (Falintil FDTL) beserta keluarganya. 

Selain itu, lembaga pendidikan TNI dan beberapa satuan TNI menjadi tempat belajar bagi para perwira Angkatan Bersenjata Timor Leste. Selain sebagai bentuk rekonsiliasi, hal ini juga sebagai upaya membangun kepercayaan antar negara yang bertetangga (Confidence Building Measures).

Film "Tanah Air Beta" yang diproduksi sutradara Ari Sihasale dan "Atambua 39 derajat Celsius" karya Riri Reza, menurut penulis juga bentuk rekonsiliasi kebudayaan. Berbagai perguruan tinggi di Indonesia menjadi pilihan para mahasiswa Timor Leste untuk belajar. 

Bahkan Indonesia membangun Pusat Budaya Indonesia (PBI) pada 15 April 2019 dan yang terbaru pemerintah Timor Leste meresmikan pembangunan jembatan yang diberi nama BJ Habibie. Perusahaan besar BUMN Indonesia juga berperan dalam pembangunan infrastruktur di Timor Leste. Hal-hal tersebut adalah langkah konstruktif rekonsiliasi. 

Tentu masih banyak upaya rekonsiliasi, yang bisa dilakukan dua negara yang bertetangga dengan lebih baik. Namun dalam hal ini diperlukan ketulusan untuk memaafkan. 

Rekonsiliasi tercapai, bila luka dan kebencian dihapus dengan memaafkan sebagaimana simbolis telah dilakukan oleh Xanana Gusmao dan almarhum BJ Habibie menjelang akhir hayatnya. Para veteran operasi seroja pun seyogyanya ikhlas memaafkan dan mencatatnyanya sebagai sejarah, agar tidak tidak dilupakan, karena dengan sejarah kita belajar.

Bendungan Hilir 18092019.

Sumber :

1. Kiki Syahnakri."Timor Timur, Untold Story". Penerbit Buku Kompas, 2013.
2. Soekanto. "Integrasi, kebulatan tekad rakyat Timor Timur". Yayasan Parikesit, 1976.
3. A. Makmur Makka. "Mr. Crack dari Parepare". Republika Penerbit, 2018.
4. Julio Tomas Pinto. "Dari invasi ke Rekonsiliasi". Penerbit Buku Kompas, 2015. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun