Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hotel Yamato Tunjungan dan Asrama Mahasiswa Papua - Paradoks Persatuan dan Disintegrasi Kebhinekaan

25 Agustus 2019   19:09 Diperbarui: 25 Agustus 2019   19:29 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Insiden bendera di Hotel Yamato Surabaya 1945, sumber foto : indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com  8 Juni 2019)

Bukan hoax, Inggris memang menyebar pamflet ancaman yang dilempar di langit Surabaya melalui pesawat terbang. Inggris yang malu dan marah, tak mudah menundukkan Surabaya yang pantang menyerah. Sebuah spirit 1945 yang mungkin menginsiprasi Presiden Soekarno saat menggelorakan Operasi Dwikora pada dekade enampuluhan, "Amerika kita setrika, Inggris kita Linggis".

(Asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Foto kompas.com 17 Agustus 2019)
(Asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Foto kompas.com 17 Agustus 2019)
Asrama Mahasiswa Papua Surabaya 2019

Tanggal 16 Agustus 2019, tiang bendera di depan asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan No. 10 Surabaya hilang, bahkan ada berita bendera merah putih teronggok di selokan. Sekelompok massa pun mendatangi asrama itu. Diantara mereka mengekspresikan kemarahannya dengan caci maki rasis <2>. Bila di tahun 1945 pemuda Surabaya marah rasional terhadap penjajah yang nyata memprovokasi , bukan hoax bendera merah putih biru, kini sekelompok massa di Surabaya marah kepada obyek mahasiswa Papua yang membantah sebagai pelaku.

Bila pada 1945 Surabaya terbakar karena dibombardir pasukan sekutu, dan apinya membakar semangat persatuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kini Agustus 2019,  hoax dan rasisme di Surabaya menjadi menjadi bara api yang  menyulut terbakarnya emosi warga Manokwari, Sorong dan Jayapura, memicu demonstrasi dan rusuh massa yang mengancam kohesi sosial dan integrasi bangsa. Bahkan terang-terangan pada tanggal 22 Agustus 2018 ada yang berani demo di depan istana Presiden, meminta referendum.

Pada tahun 1945  sumber provokasi dan sasaran kemarahan rakyat Indonesia di Surabaya adalah NICA Belanda yang menjadi musuh bersama seluruh Nusantara yang telah berikrar menjadi Indonesia. Pada kasus Asrama Mahasiswa Papua Jl Kalasan 10 Surabaya, sumber provokasi tak jelas, namun sasaran persekusi dan rasisme kepada warga sebangsa. Kompas.com merilis bahwa Presiden telah meminta Kapolri dan Panglima TNI mengusut siapa para pelaku rasisme (nasional.kompas.com 25 Agustus 2019).

Ada persoalan yang berkelindan pada waktu yang hampir bersamaan, video UAS, serangan kelompok separatis di Papua yang makin intensif serta kasus persekusi dan rasisme serta diikuti demo permintaan referendum,  yang bila ditelisik mengandung ancaman yang sama yaitu disintegrasi bangsa dengan sumbu peledak diantaranya masalah SARA. Siapa dibalik itu, tak jelas. Bila di kasus bendera Surabaya modus NICA mudah terbaca, nah pada  kasus bendera 2019 kita tidak tahu siapa penumpang gelap itu.

Namun bila kita mengacu kepada perkembangan teori perang, di mana saat ini kita berada pada generasi perang keempat, maka mungkin ini ujian apakah ikatan kebangsaan kita masih solid terhadap upaya asing menghancurkan Indonesia. 

Perang generasi keempat berupa perang asimetris dan non linier yang mengandalkan seluruh sarana dan prasarana dan sistem senjata, perpaduan politik; sosial; militer; ekonomi dan budaya. Perang ini melibatkan aktor non negara, media dan operasi psikologi dengan tujuan akhir menguasai negara sasaran<3>.

Mari kita cermati perkembangan lingkungan strategis, perang ekonomi AS dengan China, konflik Laut China selatan, penempatan marinir AS di Australia juga persaingan penguasaan sumber daya alam.

Gajah berkelahi, matilah pelanduk diantaranya. Maka kita jangan mau hanya menjadi pelanduk, kita pun harus menjadi gajah yang berkontribusi bagi penyelesaian konflik global. Belum lagi persoalan kondisi darurat narkoba dan adanya keinginan menegakkan negara kilafah. Untuk itu  kita harus mampu mengelola isu dan menyelesaikan konflik domestik serta menyekat  intervensi negara asing yang ikut memanfaatkan situasi.  

Isu domestik yang krusial saat ini adalah kemerdekaan Papua. Saya percaya mereka yang meneriakkan referendum tidak bisa disebut mewakili rakyat Papua. Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) akan memanfaatkan kasus persekusi dan rasisme di Surabaya untuk panggung politik nasional dan perjuangan di dunia internasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun