Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa Empat Prajurit

9 Maret 2019   10:33 Diperbarui: 9 Maret 2019   10:44 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto : www.sealswcc.com)

Empat orang diam membeku dalam perlindungan gelap dini hari. Ibaratnya, jangankan sendawa,  hembusan napas pun bila perlu  disembunyikan

Dari teropong penglihatan malam mereka mengamati situasi fasilitas komunikasi dan radar musuh. Dalam senyap mereka menunggu isyarat bergerak dari komandan timnya. 

Apa yang terjadi berikutnya sudah jelas membunuh atau terbunuh. Realita yang sudah mereka sadari sejak brifing di ruang operasi, menjelang infiltrasi bawah air dari kapal selam  yang dipilih menjadi  media menyusup ke pantai lawan.


Detik waktu terasa lambat berlalu, memberi kesempatan mereka untuk kontemplasi, meskipun di ruang terpedo kapal selam mereka telah bersama-sama berdoa menurut agama masing-masing. Selesai berdoa, mereka masih menyempatkan memastikan di lengan masing-masing telah melekat lencana bendera negara. 

Bertahun-tahun mereka telah bersama, di basis maupun di berbagai penugasan, namun apakah mereka masih bisa bersama lagi atau justru misi ini membawa mereka ke jalan kematian. Sebuah cara untuk mati yang telah mereka sadari. 

Kesamaan mereka adalah mati dengan bertanda lencana bendera pusaka negara di lengan, sedang perbedaan mereka adalah pada ritual doa kematian yang dilantunkan karena agama mereka berbeda. Kata amin mengakhiri doa bersama mereka, sebuah kata yang bermakna masing-masing mengamini semua doa yang mereka panjatkan. Kesadaran akan kematian justru menyatukan mereka.

Paradoks dengan pemahaman dan kesatuhatian para prajurit siluman itu,  para elit negeri sibuk memanfaatkan situasi perang, mengangkat narasi pembangkit benci sebagai tangga menuju kekuasaan. 

Di tengah masa transisi menuju pemilu, sang penguasa petahana sibuk membangun spirit perlunya bersatu melawan musuh negara, sementara oposisi mengecam penguasa, negara susah karena penguasa yang menjerumuskan ke jurang peperangan.

Petahana dan opisisi nyaring menawarkan pilihan, yang formal menawarkan program dalam debat nasional. Sementara kelompok buzer menebar kabar tentang lawan politik abal-abal. Prajurit di garis depan tak habis mengerti, saat mereka bertempur di palagan penuh mesiu terbakar, di garis belakang konon ada yang menyerukan perang badar. Prajurit tak peduli, toh mereka tak punya hak pilih. 

Meski hati miris,   negeri berpotensi runtuh, dari luar diserang musuh, namun di dalam ribut tak menyadari potensi disintegrasi. Terhadap musuh prajurit tak takut meski bila maut menjemput. Mereka lebih khawatir dan gamang, kala sesama anak bangsa yang berseberangan pilihan politik nyinyir dengan garang. Mereka seakan lupa pengobanan pendahulu, tak ingat riwayat negeri mula bersatu. 

Di belakang prajurit pengintai debur ombak menderu kencang. Menyamarkan serbuan senyap, alam mendukung sukses mereka, para prajurit perenang tempur menembus gelombang. Di balik lindung tinjau, mereka mencoba tenang, lupakan sengketa anak bangsa dalam mendukung calon pemimpin yang terobsesi menjadi pemenang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun