Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami,
Mengalun menutup pergantian hari,
Setelah rangkaian santiaji,
Menempa jiwa yang sudah bukan milik sendiri,
Seperti Patimura, Ngurah Rai dan Walter Robert Mongisidi,
Menukar jiwanya demi kemerdekaan negeri.
Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami,
Mengantar kami ke hari baru.
Setelah mencium merah putih Sang Saka.
Melepas baju loreng kami yang telah lusuh,
Karena lumpur, darah, keringat dan air mata bersatu,
Yang bagi kami wangi bak melati.
Mengingatkan palagan medan bakti,
Yang mungkin kelak menelan kami lenyap,
Atau kembali terbujur kaku dijemput maut,
Dalam merah putih- peti mati kami terbalut.
Bagimu Negeri Jiwa Raga kami,
Tidak berakhir malam itu.
Dia mengalun sepanjang hayat kami,
Saat di gunung rimba, di tengah samudera dan angkasa raya,
Kami tiga matra Pengawal kedaulatan negeri.
Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami,
Mengalun lirih saat kami melipat baju loreng lusuh kami,
Lalu menyiapkan pengganti yang kami kenakan esok hari,
syal leher merah,
Semerah darah yang menyembur dari luka raga dan baju loreng yang terkoyak,
Menetes membasahi bumi pertiwi,
Yang kami jaga sampai mati.
Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami,
Membahana di jiwa saat fajar merekah,
Semburat merah di balik bukit Tidar,
Mengantar kami mengucap Satya Dharma Wira,
Sumpah menggetarkan raga, terbungkus baju loreng sakral.
Yang sepanjang hayat kami kenakan,
Karena hanya itu yang kami punya,
Baju loreng penanda harga diri,
Yang bukan karena dekorasi semu lencana,
Tetapi berhias kebanggaan dan kehormatan sejati,
Mempertahankan nusantara,
Biarpun gugur hancur - ajal menimpa.
(Ditulis untuk mengenang larut malam menjelang prasetya perwira, menghormati para prajurit TNI yang telah gugur dan hilang dalam tugas, khususnya Serda Handoko Yonif 755/Yaled yang gugur di Mbua - Nduga Papua 031218 ).