Hal ini tentunya untuk mengurangi kemungkinan paparan terhadap virus yang lebih rentan jika terjadi kontak erat dan lama dalam suatu perbincangan seperti wawancara psikiatri.Â
Penggunaan masker yang menutupi sebagian besar wajah bahkan adanya penggunaan faceshield menghambat dokter dan pasien berkomunikasi secara non verbal lewat mimik wajah.Â
Afeksi atau suasana perasaan sesaat yang biasanya bisa diamati saat konsultasi menjadi sulit diamati. Belum lagi kesulitan bernafas lega dari dokter jiwanya seperti saya yang menggunakan masker KN-95 yang ketat saat melakukan praktek psikiatri. Biasanya melayani tiga pasien saja sudah cukup membuat sesak nafas.Â
Konsultasi online juga bukan tanpa hambatan. Konsultasi ini terkadang tidak disukai oleh banyak pasien karena ada perasaan tidak dekat dengan dokternya atau kesulitan berkomunikasi dengan signal yang kadang naik turun.Â
Hambatan lain adalah berupa komunikasi non verbal, walaupun wajah mungkin terlihat namun gerak tubuh mungkin tidak dapat diobservasi secara menyeluruh.Â
Saran Kedua Pakar Terkait Praktek Psikiatri di Masa Pandemi
Prof Sartorius ketika saya tanyakan masalah ini memang mengatakan bahwa memang akan ada kendala terkait dengan praktek psikiatri di masa pandemi, di mana banyak kehilangan "human touch" atau sentuhan kemanusiaan dalam proses terapi apalagi yang menggunakan layanan telemedisin.Â
Namun demikian Prof Sartorius mengatakan kita tentunya harus belajar untuk beradaptasi dan mengoptimalkan pelayanan psikiatri di masa pandemi ini.Â
Selaras dengan apa yang dikatakan Prof Sartorius, pakar lain di sesi yang berbeda Prof Cuijepers mengatakan bahwa layanan konsultasi psikologis baik individu ataupun kelompok secara online masih bisa dilakukan dan mempunyai dampak yang baik sesuai dengan penelitian-penelitian terakhir yang beliau paparkan.Â