Mohon tunggu...
Operariorum
Operariorum Mohon Tunggu... Buruh - Marhaenism

Operariorum Marhaenism, merupakan Tulisan-tulisan mengenai ditindasnya orang Minoritas didalam realitas dan pola-pola diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik otoriter, korporat dan kapitalissecara semenang-menang dan tidak adanya keadilan bagi kaum maniver mikro.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kongnisi Pidana dalam Legitimasi

27 Februari 2021   12:58 Diperbarui: 27 Februari 2021   13:00 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perlu dapat diadakan delik berupa percobaan dan penyertaan. Mengingat perkembangan yuridispudensi, syarat-syarat dapat dipidana delik ditetapkan sebagai berikut;

  • Suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
  • Dipenuhi rumusan delik (syarat pasal 1 ayat (1) KUHP)
  • Bersifat melawan hukum; dan
  • Dilakukan karna kesalahan (sifat tercela)

Pada dasarnya, seseorang dipidana hanya karna bersalah melakukan perbuatan pidana kalau dia memnuhi semua unsure dari rumusan delik 2, kecuali jika ada alasan penghapusan pidana baik yang terdapat didalam undang-undang (umum ataupun khusus) maupun yang terdapat di luar (Putusan Penjaja Susu Pada Tahun 1916 Dan Putusan Dokter Hewan Pada Tahun 1933). Kalau itu merupakan alasan pembenar, hapusan syarat poin 3, namun jika itu kesalahan pemaaf, syarata poin empat tidak terpenuhi. Semua itu berarti pembatasan dapat dipidananya suatu delik meskipun perbuatan tersebut memenuhi syarat semua unsure delik, pembuatannya tidak sesuai dengan pidana.

Meskipun demikian peraturan mengenai percobaan pernyataan tetap merupakan "gundukan-gundukan" (ganjalan) dalam kaitannya dengan asas legalitas. Berikut ini akan ditinjau kedua bentukan ini.

  • Percobaan
  • Syarat-syarat

Dalam lpasal 53 KUHP ditetapkan :

"mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainnya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri"

Menetapkan dapat dipidananya percobaan bukanlah suatu hal dengan sendirinya. Dapat dipikirkan adanya kodifikasi tanpa ini. Namun, jika pembuat undang-undang hendak memidana percobaan, krusial untuk menetapkan dengan syarat-syarat apa suatau percobaan dapat dipidana. Alasanya karena tanpa ini, jumlah perbuatan pidana (Pasal 1 KUHP) akan diperluas akan diperluas tanap batas.

Pasal 53 KUHP tidak menyebutkan itu, tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana, yaitu, kalau memenuhi syarat-syarat ;

  • Harus ada niat dari perilaku;
  • Harus ada permulaan pelaksaan; dan
  • Pengunduran diri yang tidak suka rela.

Jadi dapat dipahami bahwa pemberian nama untuk percobaan oleh pompe, yaitu bentuk dari perwujudan dari perbuatan pidana sebab deliknya timbul, menampakan diri , tetapi dalam bentuk yang belum selesai.

  • Niat
  • Dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan memiliki kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam yurispudensi niat sering disamakan dengan (kesengajaan (lihat utusan HR 6 Februari 1951)
  • Permulaan pelaksanaan
  • Batas antara perbuatan perisiapan yang belum dapat dipidana dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dapat dipidana, baru ditentukan abstrak dalam pasal 53 KUHP, namun doktrian dan prakteklah yang harus menariknya secara konkrit.

  • Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah "permulaan pelaksanaan" dalahm pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari perbuatan dan menamakan perbuatan pelaksanan sebagai setiap perubahatan yang menunjukan bahwa pembuatan secara psikis sanggup melakukannya.

  • Van dijk (guru besar do amsterda, 1922-1927 mengatakan bahwa;
  • "ada perbuatan pelaksanaan kalu pembuatnnya dihadapkan dengan waktu dan tempat akan dilakukan kejahatan, membuktikan dirinya sanggup melakukan perbuatan yang dipererlukan untuk menyelesaikannya"

  • Ajaran yang objektif menafsirkan istilah "permulaan pelaksanan" dalampasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan sehingga bertolak dari berhaayannya perbuatan bagi tertib hukum menamakan perbutan pelaksaan sebagai setiap perbuatan yang membahyakakan kepentingan hukum.

Skema Perbuatan Persiapan (a) Perbuatan Pelaksanaan (b) Penyelesaian Delik

Sudah jelas dalam bagian ini batas (a) akan bergeser ke kiri kalau ajaran yang dipakai lebih bersifat subjektif dan ke kanan kalau ajaran yang hendak diterapkan lebih bersifat objektif. Banyak perbuatan dapat di- pikirkan yang memang sudah dapat dianggap sebagai pernyataan dari niat jahat, tetapi belum merupakan perwujudan dari rumusan delik. Ajaran objektif belum menamakan perbuatan demikian sebagai perbuatan pe- laksanaan, sedangkan menurut ajaran subjektif sudah dinamakan sebagai perbuatan pelaksanaan.

Contoh:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun