Mohon tunggu...
Priyo Wiharto
Priyo Wiharto Mohon Tunggu... Diplomat - Guru

Penggemar Sheila On 7, Suka AS Roma dan Sesekali naik Gunung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membentengi Siswa dari Hoaks

12 Mei 2023   07:58 Diperbarui: 12 Mei 2023   07:59 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hoax atau berita bohong telah memasuki ruang-ruang privat. Masuk dari berbagai lini. Tanpa ampun, hoax menjadikan manusia-manuisa tumpul dalam berpikir. Layaknya sebuah penyakit, hoax susah ditemukan obatnya. Setiap jam, menit bahkan detik serbuan hoax atau berita bohong menabuh genderang perang sebagian orang. Ada yang diuntungkan. Banyak juga membuat rugi. Hoax selalu menyerang tokoh-tokoh terkenal negeri ini. Dari Presiden, Menteri, Gubernur bahkan guru pernah merasa kenyang dengan berita hoax. Lalu bagaimana caranya agar hoax tak masuk kelas?

Fenomena hoax mulai ramai saat mengiringi pemilihan Presiden 2014. Persaingan alot Jokowi dan Prabowo, calon Presiden saat itu, membuat para pendukungnya betul-betul menguras tenaga. Mereka berkampanye setiap saat. Tak mengenal istirahat. Untuk memenangkan jagoannya, mereka melakukan beragam cara. Salah satunya adalah menebarkan berita hoax. Jokowi menjadi pihak yang sering menjadi serbuan (Majalah Tempo,2-8/1/2017). Masa pemilu telah usai namun Hoax seolah mendapat durian runtuh.

Hoax menjadi cara ampuh bagi media-media tertentu meningkatkan kuantitas pembaca. Tanpa memperdulikan nilai-nilai kebenaran sama sekali, Hoax membuat sebagian pemilik media tersebut meraup keuntungan cukup signifikan. Hal ini didukung dengan masyarakat kita yang menyukai berita-berita tendesius, menyudutkan, maupun berita besar. Masyarakat mudah percaya dengan berita tersebut tanpa menilik kebenarannya sekali lagi.

Jika ceritanya seperti ini, hoax akan menggerus nilai-nilai sosial kemasyarakatan termasuk siswa-siswa sekolah. Internet memungkinkan siswa mengakses berita hoax dengan cepat. Jika tanpa didampingi, siswa menjadi pihak yang paling terkena dampaknya. Siswa akan mudah terpengaruh, cepat mengambil keputusan dan tentu menjadi anak yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Ketika sifat kepercayaannya turun, sekolah mnjadi tempat yang gagal dalam menjalankan tugasnya.

Tentu harus ada sebuah benteng kokoh yang dimiliki siswa agar hoax tak mengganggu nilai-nilai pendidikan yang ada di dalam kelas. Di kelas para guru demikian semangat mengajarkan berbagai kebaikan. Kerja keras, tolong menolong, saling menghormati, saling mempercayai satu sama lain dan sebagainya adalah contoh-contoh karakter yang coba ditanamkan oleh guru. Namun, Internet bisa mengubah semuanya itu dengan cepat. Siswa bisa saja mendapatkan informasi keliru dari internet.  Oleh sebab itu pentingnya siswa dibentengi atau dibekali sesuatu tentang berita bohong atau hoax

Kurikulum Jurnalistik

Salah satu cara untuk membekali siswa dalam menghadapi hoax adalah dengan memasukkan materi jurnalistik dalam kurikulum. Siswa setiap saat dan dimana saja selalu berhadapan dengan informasi yang berseliweran dengan cepat di media sosial. Tanpa bekal jurnalistik, siswa susah memilah-milah mana informasi yang benar.

Dalam Jurnalistik ada 5W (What, Where, When, Where, Who) dan 1H (How). Ilmu jurnalistik dasar ini mengajarkan tentang kebenaran suatu berita. Suatu berita yang baik adalah berita yang mengandung unsur-unsur di atas. Siswa dapat dengan mudah mengecek kebenaran suatu berita. Apakah Judul berita sesuai dengan isinya, gambarnya mendukung berita tersebut atau tidak, atau gambar itu adalah hasil editan sehingga seolah-olah berita itu adalah benar. Di Jurnalistik juga ditekankan tentang pentingnya literasi. Dunia literasi mampu membekali siswa dengan beragam informasi. Hal ini akan semakin memudahkan siswa menangkal virus hoax.

Tak hanya itu sebuah media yang baik adalah media yang mecantumkan alamat, struktur redaksi serta nomor telepon atau handphone yang bisa dihubungi. Jika salah satu ada media yang tidak memberikan data seperti itu, maka dengan kata lain media itu diragukan. Hal ini tidak pernah diajarkan dalam kelas.

Semesetinya ilmu jurnalistik sudah sewajarnya dimasukkan dalam kurikulum. Kurikulum tak semata-mata berisi materi materi tentang materi ujian nasional. Kurikulum juga harus berisi tentang ilmu atau pengetahuan yang bias bermanfaat dan bias segera dipraktikan dalam kehidupan nyata. Kita tentu tidak ingin siswa-siswa kita menjadi siswa yang dengan gampang mudah memiliki rasa benci, tidak percaya dan merasa dirinya benar. Kelas yang baik adalah kelas yang disukai siswa. Sebuah kelas yang benar-benar mengajarkan pengetahuan. Kebenaran suatu berita adalah sebuah keniscayaan. Membuktikan kebenaran adalah sebuah kewajiban. Semoga siswa mampu menghadapi atau menangkal hoax. Semoga

Priyo Wiharto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun