Di kampung kami, di lereng Gunung Kamulyan---di mana kebun teh Pagilaran milik UGM membentang hijau dan tenang---musim bediding bukan sekadar dingin yang menggigit kulit. Ia datang diam-diam, merayap bersama kabut, membungkus genteng-genteng tua, dan membuat embun menggantung di ujung daun. Tidak ada alarm atau pengumuman, tapi tubuh kami tahu: udara mulai berubah, langit mendung lebih lama, dan pagi-pagi terasa lebih sunyi.
Itulah pertanda: pohon kopi akan berbunga.
Semalam saja, pohon-pohon kopi di ladang atas sudah mengembang putih, seperti salju yang malu-malu turun di tropis. Aromanya halus dan suci, bercampur dingin pagi yang membuat siapa pun ingin menggigil dalam sarung. Wangi bunga kopi itu menyelinap pelan ke dalam rumah-rumah, menempel di baju, dan menancap di ingatan.
Orang-orang tua bilang, kalau bediding datang dan kopi mulai berbunga, itu saat yang baik untuk berharap. Harapan pada hasil panen, harapan pada rezeki, harapan bahwa hidup, meski berat, tetap berjalan dengan irama yang teratur: dingin datang, bunga tumbuh, kopi berbuah. Di kampung ini, kami belajar dari alam: tidak ada yang terburu-buru, semua ada masanya.
Musim bediding bukan musim duka. Justru sebaliknya, ia adalah waktu yang ditunggu. Sebab di dalam dinginnya, ada kehangatan-kehangatan kecil yang hanya bisa lahir dari kebersamaan. Saat malam tiba dan suhu menurun drastis, orang-orang kampung tak buru-buru tidur. Di teras rumah, di dapur kayu, atau di kolong langit-langit bambu, mereka menyalakan perapian sederhana. Api kecil dari kayu bakar menghangatkan kaki yang menggigil, tangan yang menggenggam cangkir, dan hati yang terbuka untuk cerita.
Kacang tanah disangrai dalam wajan besi warisan simbah. Jagung kering dijadikan camilan: disangrai, ditabur gula jawa, dan dimakan ramai-ramai sambil mengusap lengan karena hawa dingin yang merayap. Kadang ada ubi jalar dipanggang di bara api, kadang ada singkong rebus dengan parutan kelapa dan garam. Sementara itu, jahe tua dipanggang, digeprek, dan diseduh dengan air panas menjadi minuman alami yang harum dan menghangatkan. Tak perlu gula tambahan---rasa manisnya sudah tumbuh dari kesabaran.
Obrolan mengalir: tentang ladang, tentang anak rantau yang kirim kabar, tentang kabar sawah bawah yang mulai lembap lagi. Kadang mereka nonton televisi dengan suara kecil, kadang hanya diam sambil menatap bara api, membiarkan malam menyelesaikan waktunya. Tidur baru tiba saat kantuk benar-benar datang, setelah perut hangat oleh makanan, dan hati tenang oleh obrolan panjang.
Dan anehnya, setiap musim bediding, tubuh-tubuh itu terlihat lebih gemuk. Bukan karena kemewahan, tapi karena makan lebih teratur, tidur lebih nyenyak, dan mungkin---karena hangatnya suasana yang sederhana. Bediding tak hanya mendinginkan tubuh, tapi juga menyejukkan batin.Â
Suasana seperti itu selalu menggugah kerinduan tentang kampung, masa kecil dan perjuangan-perjuangan yang panjang sebagai anak manusia yang punya mimpi besar di masa depan. Bayangan senyum simbah dan ibu yang sudah tiada, canda tawa kakak-adik sambil berebut makanan ala kadarnya dan tentu saja wajah gagah ayah yang selalu menenangkan kami.
Bediding membuat manusia berhenti sejenak dari hiruk pikuk. Mengingatkan, bahwa bahagia tak selalu datang dari hal besar. Kadang, ia datang dari bau sangrai jagung, segelas wedang jahe panggang, dan api kecil yang menyala di tengah percakapan malam.