Kita hidup di zaman paling bising dalam sejarah manusia. Bukan karena klakson, mesin, atau pengeras suara, tapi karena narasi---cerita, opini, hoaks, promosi, propaganda---yang membanjiri kita setiap detik, di mana-mana, kapan pun. Ini bukan lagi era informasi, tapi era kebisingan narasi. Dan yang paling rentan terkena dampaknya adalah: anak-anak sekolah.
Di rumah mereka menonton konten viral. Di jalan mereka melihat iklan. Di sekolah mereka dituntut belajar, tapi fokusnya terbagi ke notifikasi. Dunia mereka riuh, terlalu ramai, dan ironisnya, makin sepi dari makna.
1. Overload Informasi, Underload Pemahaman
Anak sekarang bisa menjawab siapa presiden tiga negara, tapi tidak bisa menjelaskan kenapa sistem demokrasi penting. Mereka hafal rumus, tapi tak tahu mengapa rumus itu muncul. Ini gejala overload informasi: tahu banyak, tapi miskin pemahaman. Karena informasi datang terlalu cepat, mereka tidak diberi waktu untuk mencerna.
2. Konsentrasi Jadi Komoditas Langka
Scroll TikTok, swipe IG, klik YouTube. Semua terjadi dalam hitungan detik. Akibatnya, konsentrasi panjang jadi kemampuan langka. Padahal belajar itu butuh waktu dan ketekunan. Buku pelajaran, diskusi kelas, tugas makalah---semua terasa seperti beban jika dibandingkan dengan video lucu 30 detik yang memuaskan secara instan.
3. Hening yang Hilang, Refleksi yang Terabaikan
Anak-anak kita tidak hanya kekurangan ruang belajar, tapi juga ruang hening. Tempat mereka bisa merenung, bertanya pada diri sendiri, memproses hidup. Kebisingan narasi telah merebut hak itu. Mereka hidup di bawah sorotan, tapi kehilangan waktu untuk melihat ke dalam.
4. Narasi Sosial Media: Cermin Semu yang Menekan
Lewat media sosial, anak sekolah melihat "standar sukses" yang sebenarnya ilusi: hidup mewah, tubuh sempurna, popularitas instan. Ini membentuk tekanan psikologis yang sering tak terlihat. Banyak dari mereka jadi cemas, minder, atau justru memalsukan diri demi sesuai dengan narasi mayoritas.