Rocky Gerung pernah berkata, "Sunyi adalah suara yang sembunyi." Kalimat ini terdengar seperti lelucon filsafat, tapi justru di situlah letak kekuatannya: ia menggoda akal, memancing rasa ingin tahu, dan mengundang tafsir.
Lalu apa maksudnya?
Bayangkan sunyi bukan sebagai ketiadaan suara, melainkan sebagai bentuk suara yang tidak tampil di permukaan. Sunyi itu seperti bisikan batin, gema pikiran, atau mungkin... jeritan jiwa yang terlalu halus untuk ditangkap oleh telinga biasa.
Rocky ingin mengajak kita mendengar apa yang biasanya tidak terdengar.
Dalam dunia yang bising oleh opini, notifikasi, dan debat tanpa henti, sunyi menjadi bentuk perlawanan. Ia bukan kekosongan, tapi ruang. Ia bukan diam, tapi jeda. Sunyi adalah ruang bagi pikiran untuk bernapas dan merenung, tempat di mana suara sejati justru bisa lahir---bukan untuk memekakkan, tapi menyadarkan.
Sunyi itu filosofis, karena di dalamnya kita menemukan keberanian untuk tidak bicara, agar bisa mendengar.
Dan ternyata, gagasan ini bukan barang baru. Dalam warisan filsafat Timur dan Barat, "sunyi" justru sering menjadi pusat.
Laozi, filsuf Tao dari Tiongkok, menulis dalam Tao Te Ching:
"Kejernihan lahir dari diam, dan segala yang besar dimulai dari kekosongan."
Bagi Laozi, sunyi adalah sumber kekuatan sejati. Ia bukan kelemahan, tapi asal mula segala yang hidup. Ia seperti lembah---rendah tapi bisa menampung gunung.
Martin Heidegger, filsuf eksistensialis Jerman, bahkan menyatakan bahwa hakikat berpikir justru terjadi dalam keheningan. Dalam Gelassenheit (kemendiaman), manusia bertemu dengan "ada" bukan melalui bicara, tapi membiarkan segala sesuatu menampakkan dirinya dalam diam. Sunyi, bagi Heidegger, adalah jalan menuju eksistensi yang otentik.
Dalam sufisme, sunyi adalah bentuk zikir terdalam---zikir tanpa kata, zikir dalam dada. Para sufi percaya bahwa Tuhan paling mudah ditemukan dalam sepi. Bukan sepi sebagai pelarian, tapi sepi sebagai penghadiran. Sunyi di sini bukan menolak dunia, tapi membuka diri sepenuhnya kepada Yang Maha Ada.