Ketika sebuah perang pecah di belahan dunia mana pun---entah itu di Ukraina, Gaza, atau Laut Merah---kita yang tinggal ribuan kilometer jauhnya tetap merasakannya. Bukan lewat dentuman bom atau sirene serangan udara, tapi lewat kenaikan harga minyak, bahan pokok, logistik, dan listrik di warung depan rumah. Ironis bukan? Perang terjadi di tempat lain, tapi dompet kita ikut terluka.
Lalu muncul pertanyaan penting: apakah ini semua hanya efek samping dari konflik? Atau sebenarnya, ada yang secara sadar menggunakan perang sebagai alat untuk mengatur ulang ekonomi dunia?
Selamat datang di era modern, di mana perang bukan hanya alat politik atau dominasi militer, tapi juga bagian dari strategi bisnis global. Inilah yang disebut sebagian pengamat sebagai business war.
Perang dan Permainan Harga
Perang selalu punya dampak terhadap harga-harga. Namun yang menarik adalah: kenaikan harga akibat perang ternyata sering kali bukan "kecelakaan", tapi "peluang" yang disambut oleh banyak pihak. Terutama oleh mereka yang bermain di sektor energi, pangan, logistik, dan senjata.
Contoh paling mencolok bisa kita lihat saat invasi Rusia ke Ukraina pecah di awal 2022. Dunia langsung panik: harga minyak mentah melonjak drastis, mencapai lebih dari USD 120 per barel. Negara-negara Eropa sibuk mencari alternatif pasokan energi, sementara negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi dan Amerika Serikat---melalui perusahaan raksasa seperti ExxonMobil dan Chevron---mendulang rekor laba.
Demikian pula dengan harga gandum. Ukraina dan Rusia adalah dua pemasok gandum terbesar dunia. Ketika pelabuhan-pelabuhan mereka terganggu, harga gandum global langsung meroket. Negara-negara lain yang sebelumnya tidak terlalu dominan dalam pasokan gandum pun tiba-tiba punya posisi tawar lebih tinggi.
Apakah semua ini murni bencana? Atau justru peluang yang sudah lama ditunggu-tunggu?
"War is a Racket"
Kalimat itu diucapkan hampir seabad lalu oleh Mayor Jenderal Smedley Butler, seorang veteran perang Amerika yang menulis buku kecil berjudul War is a Racket. Intinya, Butler menyoroti bahwa banyak perang yang tampaknya heroik, sejatinya hanyalah ladang emas bagi segelintir korporasi---terutama di sektor senjata dan logistik.