Minggu pagi adalah waktu terbaik untuk merenung dan mengingat asal mula segala sesuatu. Saat cahaya menembus celah jendela dan suara alam memanggil pelan, kita diajak kembali pada satu momen paling monumental dalam sejarah manusia: saat langit untuk pertama kalinya menyapa bumi, dan menyampaikan perintah-Nya bukan dengan senjata, bukan dengan kekuasaan, tapi dengan satu kata: "Bacalah."
Perintah pertama ini bukan kebetulan. Ia adalah fondasi. Tanda bahwa literasi---kemampuan untuk membaca, memahami, dan memaknai---adalah pintu masuk menuju sesuatu yang jauh lebih besar: peradaban.
Allah tidak memulai dengan menyuruh kita berperang, membangun negara, atau membuat hukum. Allah memulai dengan menyuruh kita membaca, sebab hanya dengan membaca---baik teks maupun konteks---manusia mampu naik dari kehidupan naluriah ke kehidupan yang sadar, bermakna, dan luhur.
Literasi Adalah Titik Awal Segalanya
Literasi bukan hanya soal membaca buku. Ia adalah kemampuan menangkap makna, memahami pesan, dan memilah mana yang benar dan mana yang keliru. Inilah alat pertama yang Allah berikan kepada manusia agar mereka mampu berpikir jernih, mengambil keputusan dengan bijak, dan membangun dunia dengan nilai-nilai mulia.
Tanpa literasi, kita terjebak pada prasangka. Tanpa literasi, kita mudah dikendalikan kebodohan, hoaks, dan manipulasi. Tanpa literasi, agama bisa jadi alat kekerasan, bukan kedamaian. Ilmu bisa jadi senjata, bukan cahaya.
Lihatlah sejarah. Setiap peradaban besar selalu ditandai dengan tumbuhnya budaya baca-tulis. Zaman keemasan Islam---dari Baghdad, Kairo, hingga Cordoba---dibangun di atas semangat belajar, menulis, dan menerjemahkan ilmu dari berbagai penjuru dunia. Literasi menjadi fondasi munculnya filsuf, ilmuwan, seniman, dan pemimpin agung. Semua bermula dari Iqra'.
Peradaban Luhur Butuh Warga yang Melek Makna
Di era digital ini, kita memang membaca lebih banyak. Tapi apakah kita memahami lebih banyak?
Membaca komentar, berita, dan status sosial media belum tentu membuat kita tercerahkan. Literasi sejati bukan soal seberapa cepat kita menyerap informasi, tapi seberapa dalam kita memprosesnya. Di sinilah urgensi membangun masyarakat yang bukan hanya melek huruf, tapi juga melek makna.