(Ini puisi tentang anak tetangga)
Di singgasana kesendirian, sang jomlo berkuasa,
Kriteria cinta, setinggi langit, tak terjangkau fana.
Mata berbinar, rambut bak sutra, dompet tebal membahana,
Otak encer, humor segar, bak pangeran di dunia maya.
(Namun, lupa bercermin, pada diri sendiri yang renta,
Rambut rontok, perut buncit, dompet tipis tanpa harta.)
"Harus mapan, mobil pribadi dua pintu, rumah gedong berhalaman,"
Gumamnya angkuh, saat malam sunyi ia renungkan.
"Setia, pengertian, tak pernah membantah, selalu menyenangkan,"
Padahal, di hati sendiri, masih sering bimbang dan gamang.
(Lupa pula, bahwa diri sendiri sering lupa janji,
Suka mengeluh, hobi marah, dan tak pernah peduli.)
"Jangan pendek, jangan gemuk, harus atletis badannya,"
"Hidung mancung, bibir tipis, kulit putih berseri cahayanya."
Padahal, di balik layar, ia sendiri tak sempurna,
Mata minus, gigi tak rata, perut buncit tak terkira.
(Lupa bahwa cinta, tak selalu soal rupa,
Tapi keikhlasan, dan hati yang terbuka.)
Maka, sang jomlo terus mencari, tanpa henti dan lelah,
Membuat daftar panjang, syarat cinta yang tak terjerah.
Lupa bahwa cinta sejati, tak selalu datang dari arah,
Mungkin, ia ada di dekat, namun tak pernah ia sentuh, karena salah arah.
Waktu berlalu, keriput menghiasi wajah,
Rambut memutih, semangat perlahan luluh pasrah.
Kesehatan merosot, sendi mulai terasa letih,
Namun, kriteria cinta, masih setinggi langit, tak tersentuh.
(Rumah sepi, hanya televisi yang menemani,
Makanan dingin, rasa hambar, tak ada yang peduli.)