Mohon tunggu...
MBAH PRIYO
MBAH PRIYO Mohon Tunggu... Sketsa Hitam Putih - www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN. Berpengalaman sebagai Dosen, IT Professional dan International Trade Mediator. Memilih stay home setelah selamat dari serangan dari negara api pada tahun 2019, menjalanni hobi berkebun lemon, ternak ikan dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rendah Hati di Tengah Karpet Merah

17 Februari 2025   04:41 Diperbarui: 17 Februari 2025   04:41 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat - sketsa pribadi

Gemuruh pembangunan, janji melangit,
Rakyat menjerit, kantong menjepit.
Para wakil rakyat, berdasi klimis,
Serukan penghematan, mimik meringis. 


"Mari berhemat!" pekik sang ketua,
Sambil atur jadwal rapat di Bali, mewah pula.
"Mobil dinas cukup satu saja,"
Kata sang menteri, jet pribadi tetap setia.

Kursi empuk berganti, semangat membara,
Anggaran makan siang, tak lagi berlimpah ruah.
Roti gandum, kopi hitam tanpa gula,
Sambil rapat virtual, di ruang kerja ber-AC ganda.

Studi banding ke Swiss, kini jadi impian,
Cukup kunjungan daerah, penuh sanjungan.
Hotel bintang lima, diganti penginapan biasa,
Tapi bonus dan tunjangan, tetap istimewa.

"Demi pembangunan, mari berkorban!"
Teriak sang dewan, senyumnya lebar bukan kepalang.
Sementara di bawah, rakyat bersusah payah,
Mencari sesuap nasi, di tengah harga yang membara.

Korupsi dilawan, dengan senyum manis,
Janji ditepati, di atas kertas yang bersih.
Penghematan merajalela, di kalangan atas,
Sementara rakyat jelata, tetap terhempas.

Ah, indahnya drama, di panggung negara,
Para pejabat berhemat, rakyat yang sengsara.
Pembangunan terus berjalan, dengan biaya tinggi,
Siapa yang untung? Hanya mereka yang berdiri di barisan tinggi.

Gedung megah, beratap berlapis emas,
Menyaksikan pidato, yang penuh ironis.
"Efisiensi adalah kunci," lantang bergema,
Diiringi sorak tepuk tangan, yang tak terduga.

Pelayanan publik, kini lebih sederhana,
Antrean panjang, bukan lagi rahasia.
Gaji dipotong, tapi tunjangan tak pernah surut,
Demi pembangunan, yang belum juga terwujud.

Rapat paripurna, kini lebih hemat energi,
Lampu dimatikan, agar tak boros lagi.
Tapi biaya perjalanan, tetap membengkak,
Untuk urusan dinas, yang tak pernah berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun