Di bawah langit yang cerah benderang, Â Bersemai harapan, menyebar wangi bunga, Â
Tibalah saatnya di mana semua orang, Â
Merayakan kebersamaan, dengan jiwa yang ceria.
Hari Raya tiba, bagaikan sinar pagi, Â
Memanggil hati untuk bersuka cita, Â
Namun di balik keramaian yang bersemi, Â
Ada rasa gengsi membayangi kita.
Kita bersolek, berbusana megah, Â
Mempersembahkan diri dalam cahaya berkilau, Â
Pakaian terbaik, dan senyum lebar terbentang, Â
Seolah tak ada duka di sudut hatimu yang kelam.
Namun apa arti semua hiasan dan warna, Â
Jika hati tak secerah wajah yang terpampang? Â
Gengsi merajai, menguasai rasa, Â
Saat silaturahmi tak lagi tulus tuhanku.
Lampu-lampu berkilau di setiap sudut jalan, Â
Bising tawa, lagu merdu tak pernah henti, Â
Namun di balik kesenangan yang mengalir deras, Â
Ada rasa kosong, terasing dalam komunitas yang berarti.
Kita adakan jamuan, hidangan melimpah, Â
Namun kadang terlupa, dalam kesibukan kita, Â
Hargai setiap tetamu yang datang dengan ikhlas, Â
Kendalikan gengsi, makna sejati kita.
Satu piring nasi, seribu makna tersimpan, Â
Tertawa bersama, berbagi cerita yang hangat, Â
Di balik harga diri yang seolah dijaga, Â
Terdapat harta, lebih dari sekadar tampak.
Hari Raya bukan hanya gengsi yang bertata, Â
Namun tentang kasih yang menyatu di hati, Â
Tentang mereka yang kita lupakan sejenak, Â
Yang perlu kita rangkul, dalam hangat kasih sayang.
Mari kita hapus garis gengsi yang membentang, Â
Biarkan cinta merajai, di hari yang suci ini, Â
Setiap pelukan, setiap senyuman tulus, Â
Adalah hadiah terindah yang dapat kita beri.
Kita rayakan bersamaan, tanpa batas dan dinding, Â
Dalam satu naungan, sebagai satu keluarga, Â
Hari Raya, Hari Gengsi Nasional yang berkilau, Â
Namun lebih dari itu, mari kita kembali pada cinta.
Sebuah harapan baru, di balik kilau dan gemerlap, Â
Bahwa di setiap langkah, kita dapat berkesempatan, Â
Menjadi lebih dari sekadar penampilan semata, Â
Hidup dalam harmoni, bersama insan yang kita cintai.