Jakarta, kota megapolitan yang konon katanya penuh dengan manusia-manusia modern, ternyata masih saja dirundung masalah klasik: parkir liar. Setiap sudut jalan menjadi ajang pamer kendaraan yang tak berumah, alias mobil-mobil yang dibiarkan tidur di tepi jalan oleh pemiliknya yang terlalu optimis bahwa ruang publik adalah hak pribadi. Seolah-olah trotoar dan bahu jalan adalah perpanjangan dari halaman rumah mereka.
Padahal, pemerintah sudah sejak lama mengeluarkan aturan bahwa setiap pemilik mobil harus memiliki garasi. Aturan ini bukan sekadar pajangan di lembaran peraturan daerah, melainkan sebuah solusi agar kota tidak berubah menjadi lautan parkir ilegal yang menghambat pergerakan semua orang. Sayangnya, peraturan tetaplah peraturan. Di negeri ini, aturan bukan untuk ditaati, melainkan untuk dicari celahnya.
Mari kita bayangkan seorang warga Jakarta yang tinggal di gang sempit. Gajinya pas-pasan, tapi demi gengsi dan keinginan naik kasta sosial, ia memaksakan diri membeli mobil. Garasi? Ah, nanti saja! Jalanan depan rumah masih cukup luas untuk dipakai parkir. Toh, tetangga juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, jalan perumahan yang seharusnya menjadi ruang bersama berubah menjadi showroom mobil gratis.
Lalu muncullah pemandangan sehari-hari: anak-anak kehilangan ruang bermain, pejalan kaki terpaksa menyelinap di antara deretan mobil, dan kendaraan darurat seperti ambulans harus pasrah terjebak macet di gang sempit yang dipenuhi mobil-mobil tanpa izin. Yang lebih ironis, para pemilik mobil ini justru mengeluh soal macet, padahal merekalah yang menjadi salah satu penyebabnya.
Jika menilik kota-kota besar di negara lain, aturan kepemilikan garasi sebelum membeli mobil bukan lagi bahan perdebatan. Jepang, misalnya, menerapkan "Shako Shomei Sho" atau sertifikat bukti garasi. Tanpa dokumen ini, mobil tidak bisa didaftarkan. Sederhana, tegas, dan efektif. Di Indonesia, peraturan serupa sebenarnya sudah ada, hanya saja sering kali mandul di lapangan. Entah karena lemahnya pengawasan, entah karena mentalitas masyarakat yang cenderung permisif terhadap pelanggaran kecil.
Solusi? Tegakkan aturan tanpa pandang bulu! Pemerintah daerah harus lebih serius dalam menegakkan regulasi kepemilikan garasi, dengan sanksi tegas bagi mereka yang nekat memarkir di sembarang tempat. Mungkin denda yang memberatkan atau bahkan pencabutan izin kendaraan bisa menjadi opsi. Toh, kalau bisa membeli mobil, seharusnya bisa membeli atau menyewa garasi, bukan?
Sebagai warga yang ingin hidup lebih nyaman dan teratur, kita pun perlu mengubah cara berpikir. Memiliki mobil bukan hanya soal mampu mencicil kendaraan, tetapi juga mampu menyediakan tempat yang layak untuk menyimpannya. Jika tidak, bersiaplah untuk berkontribusi dalam parade besar kemacetan Jakarta. Dan jika ada yang masih bersikeras, mungkin mereka lebih cocok menjadi kolektor diecast daripada pemilik mobil sungguhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI