Mohon tunggu...
MBAH PRIYO
MBAH PRIYO Mohon Tunggu... Sketsa Hitam Putih - www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN. Berpengalaman sebagai Dosen, IT Professional dan International Trade Mediator. Memilih stay home setelah selamat dari serangan dari negara api pada tahun 2019, menjalanni hobi berkebun lemon, ternak ikan dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Renungan: Satu Butir Nasi yang Mengguncang Dunia

28 Januari 2025   03:50 Diperbarui: 28 Januari 2025   04:37 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepiring nasi - kreasi AI

Pernahkah kita merenung sejenak ketika melihat sebutir nasi tertinggal di piring? Mungkin tidak, karena sebutir nasi itu terlalu kecil, terlalu remeh, untuk dijadikan bahan renungan. Namun, mari kita bermain dengan angka. Ada 300 juta orang di negeri ini. Jika setiap orang menyisakan satu butir nasi setiap kali makan, maka dalam sehari kita sudah menyia-nyiakan 6 ton beras. Ya, 6 ton! dan jadi 18 ton dalam 3 kali makan. Dalam sebulan? 540 ton. Sebutir nasi kecil itu, ternyata punya dampak besar. 

Mari kita telusuri perjalanan sebutir nasi itu. Ia memulai hidupnya sebagai sebutir benih di ladang yang membutuhkan air, tanah subur, pupuk, dan tenaga petani yang membanting tulang di bawah terik matahari. Jangan lupa, 1 kilogram beras saja butuh 2.500 liter air untuk diproduksi. Lalu, nasi itu melalui proses panjang dari panen, penggilingan, hingga akhirnya sampai di piring kita, hanya untuk dibiarkan tersisa begitu saja. Sebutir nasi kecil itu membawa cerita panjang, sebuah kisah yang sering kali kita abaikan.

Nasi tersisa - kreasi AI
Nasi tersisa - kreasi AI

Tapi tenang, kita punya alasan. “Ah, cuma satu butir. Tidak ada artinya,” begitu kata kita. Memang benar, satu butir itu tidak akan membuat kita lapar atau kenyang. Tapi bagaimana jika kita kumpulkan semua butir yang tersisa itu? Dengan 18 ton beras yang terbuang setiap hari, kita sebenarnya sedang membuang cukup makanan untuk memberi makan ribuan orang yang kelaparan. Ironisnya, di sisi lain negeri ini, masih ada yang harus menahan lapar karena tidak mampu membeli sebutir nasi pun.

Sebagai bangsa yang katanya kaya akan kearifan lokal, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri: di mana rasa syukur itu? Dulu, nenek moyang kita mengajarkan bahwa nasi adalah berkah yang harus dihargai, bahkan jika sebutir nasi jatuh ke lantai, kita diajarkan untuk memungutnya kembali. Tapi hari ini, rasa syukur itu tampaknya telah berubah menjadi rasa abai.

Bayangkan jika bumi ini bisa berbicara, mungkin ia akan berkata, “Hei, aku sudah memberikan tanahku, airku, dan energiku untuk menghasilkan makanan itu. Mengapa kau sia-siakan?” Mungkin ia juga akan menambahkan, “Kalau hanya ingin menyia-nyiakan, kenapa tidak makan plastik saja? Itu lebih cocok dengan kebiasaanmu yang suka buang-buang.”

Jadi, mari kita renungkan. Apakah benar kita terlalu kaya hingga bisa membuang 540 ton beras setiap bulan? Atau mungkin kita terlalu malas untuk peduli? Satu hal yang pasti, bumi ini tidak akan bertahan lama jika kita terus memperlakukan sumber dayanya dengan cara ini.

Satu butir nasi mungkin terlihat kecil, tapi dampaknya luar biasa besar. Mungkin sudah waktunya kita mengubah perspektif. Sebab, menghargai satu butir nasi bukan hanya tentang menghargai makanan, tapi juga tentang menghormati kehidupan.

Sadari, kita adalah salah satu importir beras terbesar di dunia. Sampai kapan pun, jumlah impor akan terus naik jika kita terus menyia-nyiakan nasi. Faktanya, tidak hanya sebutir, bahkan puluhan butir nasi terbuang di setiap piring. Jika ini terus terjadi, bukan hanya sumber daya yang kita sia-siakan, tetapi juga masa depan ketahanan pangan kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun