Dulu, potong rambut itu urusan dekat-dekat rumah. Di depan pasar ada tukang cukur yang duduk di bangku kecil, cermin sederhana dipaku di tembok bata, dan kipas angin yang seringkali hanya berputar melambat.Â
Sedangkan di tempat lain, di bawah pohon rindang, ada juga tukang cukur "DPR" alias Di Bawah Pohon Rindang.
Di situ, rambut bukan hanya dipotong, tapi cerita juga mengalir deras. Semua pelanggan, dari anak kecil yang rewel sampai bapak-bapak penuh uban, punya panggungnya sendiri.Â
Tukang cukur DPR ini jago menghibur: dari obrolan politik sampai ramalan cuaca. Tapi ada satu momen yang tak terlupakan. Pernah suatu kali hujan deras turun tiba-tiba.Â
Semua langsung bubar. Pelanggan yang sedang dicukur terpaksa ikut lari dengan rambut setengah jadi---bagian kiri sudah licin, tapi bagian kanan masih gondrong.Â
Berteduh dan menunggu hujan reda, dan kegiatan cukur-mencukur baru dilanjutkan di bawah pohon tadi. Mungkin perlu di pasang terpal sekedar untuk menahan hujan dan terik matahari. Hari itu jadi lelucon se-kampung selama berminggu-minggu.
Namun, era tukang cukur sederhana ini perlahan mulai hilang, tergantikan oleh fenomena barber shop modern yang menjamur di setiap sudut kota.Â
Barbershop bukan sekadar tempat potong rambut, tapi arena pencitraan. Ada sofa empuk di ruang tunggu, kopi gratis, AC dingin, dan lampu-lampu Instagrammable.Â
Bahkan, ada yang menawarkan layanan premium seperti hair spa atau hot towel, atau bahkan pemijat yang cantik dengan baju kurang bahan.