Mohon tunggu...
Mang Free
Mang Free Mohon Tunggu... Penulis - Kadar Pok, Kudu Pek

Mahasiswa Tadris Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Petani Hilang, Indonesia Kepalang

29 Juni 2019   08:08 Diperbarui: 29 Juni 2019   08:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jang, kamu jangan kaya bapak, bapak kerja capek tiap hari di sawah, makanya kamu harus jadi orang sukses" ucap seorang bapak-bapak yang menceritakan tentang anaknya bersamaku. Yaa, perkataan seperti itu sangat sering kita dengar, apalagi bagi anak dari kalangan menengah kebawah. Banyak para petani yang menginginkan anaknya sukses, jadi sarjana, dokter, pengusaha, bos, dan bermacam lainnya.

Sempat pula seorang pedagang sayur dipasar tradisional menceritakan perjuangannya menyekolahkan anaknya supaya bisa kerja di luar negeri. Begitu pula dengan ayahku saat ini, beliau berangkat pagi pulang sore atau bahkan sampe larut malam untuk memberikan nafkah keluarga sekaligus biayaku kuliah. 

Mengingat beliau mempunyai penyakit darah tinggi yang sering kambuh kala kelelahan yang berlebih. Ah, tak tega aku melihatnya, tapi aku hanya bisa membantu sedikit saja.

Pernahkah anda termenung, andai para orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani menginginkan anaknya menjadi sukses namun bukan sukses meneruskan ayahnya di sawah, tapi sukses sebagai pegawai kantoran atau bos. Maka, siapa yang akan menanam padi ? Yang akan menghasilkan beras ? Sedangkan para petani saat ini sudah beranjak tua.

"Kan ada para insinyur pertanian". Berapa banyak sih para insinyur pertanian kita ? Dan berapa banyak yang bersedia membangun pesawahan di desanya ?. Ditambah banyak anggapan miring jika anak sekolah menjadi petani. "Kalo akhirnya megang pacul, buat apa sekolah sampe SMA, buat apa sampe kuliah?". 

Makanya jangan heran apabila para generasi muda merasa malu jika harus memegang pacul atau sabit. Jangan heran jika mereka merasa enggan apabila diminta memberikan bekal ayahnya yang bekerja di sawah. 

Tapi mereka malah merasa bangga apabila bisa punya gadget terbaru, kosmetik termahal, dan perhiasan terkeren walau dengan memaksa orang tuanya untuk membelikannya.

Sudah kita pahami, apabila petani tidak ada maka siapa yang bisa memberikan persediaan beras untuk kita ? "Gampang, tinggal impor aja dari negara tetangga, beres kan ?". Jawaban seperti ini pastinya akan muncul, tapi dengan apa kita membelinya ? Dengan menjual kekayaan tanah kita ? Lantas mau sampai kapan kita akan menjadi negara konsumen ?

Kenapa sih profesi petani sangat jarang yang meminati ? Itu karena kurangnya penghargaan kita kepada profesi tersebut. Dibilang gak kerenlah, kotorlah, capeklah, mendingan di kantoran, kerja juga sambil pake jas.

Andai saja profesi ini kita anggap profesi yang mulia, profesi yang dianggap berkontribusi besar, profesi yang lebih disejahterakan kehidupannya, maka akan banyak yang meminati profesi ini. Andai saja gaji seorang petani setara gaji seorang karyawan kantoran. 

Karena faktanya, petani adalah profesi yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, dari awal mereka harus membajak sawah dengan traktor ? Berapa jasa traktor ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun