Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia: Sudah Menjelang Gol!

19 Januari 2012   12:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:41 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kini Indonesia benar-benar tengah berada di tahap yang semakin menentukan dan harus bisa melewatinya dengan selamat. Ibarat bermain sepakbola, kini bola sudah berhasil digiring di daerah kotak pinalty lawan dan sudah cukup lama berkutat di sana.

Tahap yang kritikal ini dicapai setelah lebih dari satu dekade mencari tatatan dan pola 'permainan' baru, dengan tertatih-tatih dan sempat kocar-kacir karena memang berangkat dari kondisi yang porak poranda, meski bukan akibat perang dan tembak-tembakan dengan bangsa lain.

Kini, tinggal bagaimana mengatasi hambatan psikologis dan konsentrasi dengan tenang untuk bisa benar-benar memanfaatkan waktu yang kritikal dalam menendang bola dengan mantap ke depan, menjaringkannya ke gawang lawan. Bila 'telur pecah', maka akan memasuki tingkat permainan baru. Pola permainan akan semakin mantap meski bukan berarti sudah sempurna. Kemenangan akan lebih sering bisa dicapai.

Selama lebih sepuluh tahun terakhir, ibaratnya permainan masih banyak berkutat di daerah pertahanan sendiri. Masih sering salah umpan, bahkan berebut bola sendiri sehingga malah sering kehilangan bola. Belum ada pengertian yang memadai dan asling percaya diantara para pemain. Ini akibat sifat egois para pemain masih terlalu dominan sehingga tidak bermain demi tim.

Di bidang ekonomi, kutak-katik bola yang tak pernah melewati daerah lawan tadi, tercermin dari belum juga terwujudnya banyak pembangunan fisik yang menjadi penunjang meski duit sudah tersedia.

Jalan, jembatan dan stasiun serta rel kereta api masih mengandalkan peninggalan penjajah Belanda. Demikian pula infrastruktur non-fisik, aturan hukum utamanya masih juga berlandaskan warisan Belanda.

Namun kini, di tengah masih banyaknya kekurangan dan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, beberapa kemajuan sudah dicapai. Ekonomi sudah mulai tumbuh rata-rata 6%-an, meski belum bisa melewati potensinya di atas 7 % dan belum dirasakan merata. Inflasi sudah mulai bergerak di kisaran angka satu digit, terakhir bahkan sudah di bawah 4%, meskipun tentunya belum mencerminkan semua barang dan jasa yang terasa di kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.

Beberapa penanda atau indikasi lain yang sifatnya 'makro'-pun sudah mulai menunjukkan tendensi yang membaik. Porsi utang pemerintah misalnya, rasionya terhadap produk dometik bruto (PDB) yang menunjukkan nilai barang dan jasa yang diproduksi,  sudah turun dan sekarang di kisaran 25%. Padahal di negara lain, terutama di negara maju justru meningkat tajam. Bahkan banyak yang melewati 100% dan kini tengah menghadapi krisis akibat utang pemerintah negaranya yang terlalu berlebihan meskipun hal tersebutlah yang 'menyejahterakan' masyarakatnya selama ini.

Apresiasi memang masih lebih banyak datang dari pihak luar dan lembaga pemeringkat utang. Misalnya, beberapa lembaga pemeringkat internasional mulai mengembalikan peringkat (rating) Indonesia kembali ke kategori 'layak investasi' (investment grade), level sebelum krisis 1998. Yang terakhir, kemarin Moody's yang memberikan peringkat 'Baa3'. Akhir tahun 2011 lalu Fitch dengan peringakt 'BBB-' rating, setelah sebelumnya. Lembaga pemeringkat yang bermarkas di Jepang, JCRA, pertengahan tahun 2010 lebih dulu menaikkan peringkat Indonesia di level 'BBB-', demikian pula lembaga pemeringkat yang bermarkas di China, Dagong. Kini tinggal menunggu satu lagi lembaga pemeringkat, S&P, yang oleh banyak kalangan akan menaikkan peringkat Indonesia ke level layak investasi tahun ini. Beberapa bahkan memperkirakan bulan depan, atau kalau tidak di kuartal pertama.

Memang fakta, kasat mata dan terasa adanya ketidaksinkronan antara indikator-indikator yang sifatnya 'makro' dan agregat dengan kenyataan di 'lapangan' sehari-hari. Juga perbedaan apresiasi, bahkan cenderung kontradiktif, antara pihak luar negeri dengan publik di dalam negeri.

Kenyataan tadi dipotret dengan sangat baik oleh Ahmad Erani Yustika,  Direktur Eksekutif Indef dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, dalam opininya berjudul 'Absurditas Ekonomi Nasional' (Kompas, 18 Januari 2012). Dia antara lain menyajikan beberapa kontradiksi, absurditas. Misalnya: rata-rata inflasi tahun 2005-2010 dapat ditekan cukup rendah, namun harga beras naik 120%. Juga kenyataan bahwa 53% garam, 60% kedelai, 30% daging dan 70% susu untuk kebutuhan masyarakat dalam negeri harus diimpor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun