Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biru Langka Langit Jakarta

1 Agustus 2010   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kapan bisa menikmati langit Jakarta yang biru dan terasa bersih udaranya? Mungkin sangat jarang, bahkan langka. Langit di atas kota Jakarta lebih sering berawan kelabu karena polusi udara. Jakarta memang tergolong kota dengan tingkat polusi tinggi diantara jajaran kota-kota besar di dunia.

Secuil Langit Biru, 30 Juli 2010

Sungguh beruntung bila Jum’at tanggal 30 Juli 2010 lalu, saya bisa menemukan langit Jakarta yang biru, bersih sekali. Kebetulan suhu udara saat itu juga tidak terlalu panas dan lembab seperti biasanya. Angin semilir yang berhembus diantara tetumbuhan di halaman rumah semakin menambah sejuknya Jum’at siang itu. Paling tidak, suasana ini terasa di bagian Jakarta Timur, daerah sekitar tempat tinggal saya.

Saya tak begitu tahu suasana di jalanan Jakarta hari itu. Mudah-mudahan tidak separah biasanya. Kebetulan saya memang tinggal di rumah hari itu dan dengan sengaja ingin ‘menyepi’ sejenak dari beragam pemberitaan. Kondisi badan saya memang agak tidak enak saat itu. Peringatan alami dari badan seperti ini memang harus semakin saya perhatikan. Walau begitu, bukan berarti saya sama tidak bersentuhan dengan berbagai hal berbau pekerjaan. Sesekali masih harus juga menjawan sms, bbm dan email dari beberapa pihak. Namun demikian, masih tetap terasa lebih segar karena bisa melihat anak pulang sekolah dan mendengarkan celotehan si ragil di rumah. Dan yang terpenting, keindahan siang tadi tak ternoda dengan kemacetan jalanan yang semakin menjadi keresahan sekarang ini.

Sejenak, ketenangan karena langit biru tadi seolah mengingatkan karunia yang diberikan ke negeri ini. Seandainya semua karunia yang diberian ke negeri ini, alam yang indah dan sumber daya yang melimpah, terkelola dan terjaga rapi mungkin seindah kesan siang itu kemakmuran bangsa ini. Tak heran bila dulu ada pepatah ‘gemah ripah loh jinawi’ untuk menggambarkan kekayaan yang tersedia di negeri ini yang (seharusnya) menjamin kemakmuran seluruh masyarakatnya. Koes Plus, salah satu grup musik legendaris bahkan menggambarkan dengan elok dalam lagu-lagu seri Nusantara dan Kolam Susu. “Bukan lautan, hanya kolam susu … tongkat, kayu dan batu jadi tanaman”. Lirik dalam lagu Kolam susu tadi benar-benar menggambarkan kesuburan negeri ini, dulu!

Memang sejak ratusan tahun yang lalu, berlimpahnya sumber daya alam sudah menjadi ajang rebutan sebagian kalangan dan bangsa asing. Bahkan hingga saat ini, walau dalam bentuk dan cara yang berbeda.

Kebetulan pula, di siang yang indah itu banyak kejadian seolah ikut menikmati. Beberapa pemberitaan yang secara sambil lalu saya baca memberitakan hal yang terkesan menyenangkan. Kurs rupiah menembus 9.000 rupiah per dollar, hal yang beberapa tahun terakhir tak terlihat. Harga nilai tukar yang meski dianggap mencerminkan situasi yang positif namum hampir pasti akan menuai protes kalangan eksportir. Indeks harga saham tembus ke level tertinggi sepanjang sejarah, yaitu tembus angka 3.000. Imbal hasil SUN pun semakin rendah sehingga semakin murah bagi Pemerintah untuk berhutang guna membiayai kekurangan dana pembangunan. Bahkan, di tengah negara-negara maju dunia semakin terjerat hutang, Menteri Keuangan menyatakan bahwa Indonesia sebaliknya. Indonesia akan membutuhkan hutang yang lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya dan deficit anggaran Pemerintah akan lebih kecil dari perhitungan sebelumnya. Konon menjadi hanya 1,5% dari perhitungan semula sebesar 2,1%. Pun demikian, pertumbuhan ekonomi diyakini masih akan cukup tinggi untuk ukuran negeri ini, yaitu sekitar 6%.

Kekinclongan fakta-fakta tadi untuk sementara menutupi beragam isu mendasar negeri ini yang banyak dikeluhkan, diperdebatkan dan menjadi ‘permainan’ beragam pihak. Para investor di pasar finansial seolah sangat antusias, terlalu antusias bahkan, untuk tak mau kehilangan momen dengan berebut membeli saham dan aset keuangan Indonesia lainnya. Mereka memanfaatkan berita apapun yang mendukung persepsi dan suasana hati mereka. Walaupun bisa jadi beberapa saat mendatang akan mereka jual kembali untuk merealisasikan keuntungan bila ada pertanda ‘mendung’ segera datang. Misalnya pada saat ada publikasi data, entah dari dalam negeri maupun luar negeri yang tidak sesuai dengan harapan mereka.

Untuk sementara, beberapa fakta lain mereka kesampingkan dulu. Misalnya kemungkinan naiknya inflasi tahun ini,yang oleh beberapa kalangan diperkirakan juga akan mendekati pula angka 6%, karena harga beras, cabe, bawang, telur dan daging ayam yang naik. Juga masih menganggurnya dana kas perbankan ratusan triliun, yang oleh sebagian pihak dinilai pertanda belum efisiennya perbankan sehingga tidak maksimal menyalurkan kredit. Buat mereka saat ini, yang penting perbankan masih bisa mencetak laba cukup besar. Demikian pula halnya terhadap data keuntungan beberapa perusahaan besar yang baru saja mengumumkan laporan keuangan tengah tahunnya.

Buat mereka, heboh para politisi negeri ini dinilai sekedar sebagai hiburan pelepas penat ruang kerja mereka. Mereka yakin, lakon yang mereka pentaskan hanya akan berhenti di panggung politik saja. Semua hanya sandiwara dengan kadar lokal. Dalam arti tidak akan, atau belum akan terlalu mempengaruhi jalannya geliat perekonomian negeri ini.

Meski demikian, saya agak terkejut ketika sambil lalu membaca sebuah artikel seorang pakar politik terkenal negeri ini. Dia mengulas mengenai adanya kemungkinan bahwa Indonesia bisa menjadi sebuah negeri yang gagal (failed state). Negeri yang gagal memakmurkan masyarakatnya karena gagal melewati masa transisi rejim politik suatu negara, menjadi negara demokrasi seutuhnya. Beruntung katanya, meski di Indonesia masyarakat Indonesia masih dicekoki pergulatan seru antar para pemimpin dan antara institusi penyelenggara negara belum tergolong pada kategori itu. Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan stabilitas politik rendah. Kisruh politik masih banyak, namun seperti pandangan para investor pasar keuangan tadi, belum sampai menggagalkan jalannya roda perekonoman. (Yudi Latif, “Menghindari Negara Gagal”, Gatra Edisi 29 Juli - 4 Agustus 2010).

Hal lain yang juga sedikit mengejutkan adalah keluh kesah para elite politik sendiri. Hal ini jelas mengkhawatirkan karena oleh sebagian pihak dinyatakan bahwa keberhasilan bangsa ini dalam melewati masa transisi demokrasi yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun terakhir tergantung dari kebesaran hati para elite politiknya. Bila elite politiknya saja terkesan tak berdaya atau tak mau berdaya, atau masih suka dengan uji coba alangkah sialnya kita semua.

Pramono Anung Wibowo, Wakil Ketua DPR dan salah satu tokoh PDI-P, melempar wacana perlunya penyederhanaan partai (Kompas, 30 Juli 2010, “Agar Presiden Tak Tersandera”. Intinya jumlah partai di republik ini jangan lagi terlalu besar. Menurutnya, idealnya hanya ada dua partai besar saja di negeri ini. Mungkin mirip di Amerika? Menurutnya lagi, kalaupun lebih dari dua, cukup empat hingga tujuh partai sajalah. Untuk mewujudkan hal tersebut, bisa ditempuh dengan dengan secara simple menaikkan batas minimum (threshold) perolehan suara. Ide yang masuk akal sebenarnya, meski jelas akan ditentang oleh partai-partai kecil seperti terlihat dari keberatan salah satu partai kecil di sebuah media. Namun menjadi mengkhawatirkan bila hal tersebut harus diproses dengan melempar ke perdebatan publik luas sejak dini, pada saat masyarakat masih dijejali dengan beragam perseteruan.

Dari ulasan Pramono Anung tadi ada pula hal lain yang menarik, namun mengkhawatirkan pula. Meski bukan sesuatu yang baru. Yaitu politisasi yang tersirat berlebihan terhadap suatu kasus sehingga jalannya pemerintahan tidak akan pernah optimal. Dia menyebut penanganan kasus Lapindo, Century dan Kasus Pajak sebagai contohnya. Alangkah mahalnya beban, mental dan metarial, yang harus ditanggung masyarakat bila kasus-kasus seperti itu akan selalu menjadi dagangan para politisi negeri ini. Orientasi yang sudah sangat jelas tidak berpihak kepada rakyat yang sesungguhnya.

Maka bisa jadi, Pong Haryatmo - mantan aktor yang juga anggota wakil rakyat, memilih hari Jum’at yang biru cerah tadi untuk kembali mengingatkan, meski dengan cara yang kontroversial. Coretannya dengan cat pilok di atas gedung MPR/DPR, ‘Jujur, Adil, Tegas’ adalah cerminan keputusasaannya. Meski sebagian menganggapnya sebagai upaya mencari sensasi.

Dalam kegeraman dan keputusasaan pada berharap perbaikan, orang memang bisa beraksi dan bereaksi yang bukan-bukan. Mudah-mudahan tidak ada perilaku banyak orang yang semakin aneh.

Langit biru di hari Jumat lalu dan ulah Pong Haryatmo semoga bisa menyadarkan banyak pihak. Masih ada harapan dan belum terlalu telat untuk mengelola negeri ini lebih baik dan lebih bijak. Saatnya menatap ke depan agar masa transisi demokrasi negeri ini bisa terlewati dengan selamat. Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun