Mohon tunggu...
Priyandono Hanyokrokusumo
Priyandono Hanyokrokusumo Mohon Tunggu... -

Guru di SMAN 1 Gresik. Nyambi sebagai penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Realitas Melampaui Batas

6 Februari 2019   16:53 Diperbarui: 6 Februari 2019   17:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul : Suara Hati dalam Untaian KataRefleksi Politik, Religi, dan KemanusiaanPenulis: Drs. Abdullah Masmuh, M.Si
Penerbit: Pustaka Media Guru
ISBN : 978-602-482-965-0
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : x + 130 halaman
Cetakan Pertama: Januari 2019

Sejak dulu batas itu ada. Batas tidak akan bisa dilampaui, kecuali oleh tsunami dan puting beliung. Manusia seharusnya mengetahui batas, bukan malah menggoda dan merayu batas untuk mendapatkan kebebasan. Menahan diri agar tak melewati  batas adalah sikap yang tepat agar dapat menciptakan batasan- batasan, bukan kebebasan. Sebab sejatinya tugas manusia bukan kebebasan, tetapi keterbatasan.

Kewajiban manusia adalah mengetahui batas, bukan bebas bicara, bukan pula demokrasi. Akan tetapi hal ini justru tenggelam oleh pikiran dan tindakan manusia yang jauh dari kearifan.  Beberapa sisi kehidupan seperti politik, agama dan kemanusiaan mengapung ke  permukaan dalam kondisi terkoyak. Tidak hanya hukum positif yang diterjang, hukum langit pun dilawan. Ironisnya,  ketiga dimensi tersebut justru semakin gegap gempita dalam konteks sosiologis kehidupan manusia.

Menyaksikan tiga dimensi kehidupan (politik, Agama, dan kemanusiaan) yang kian hari semakin terpinggirkan ini suasana hati Abdullah Masmuh berkecamuk. Setelah melalui kontemplasi, semua fenomena serta kejadian yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialami disajikan secara apik dalam larik-larik puisi yang sarat makna. Dibungkus dalam plastik bahasa yang menggetarkan serta dirangkum dalam buku kumpulan puisi bertajuk Suara Hati dalam Untaian Kata.

Buku ini terdiri dari tiga tema, yakni politik, agama dan kemanusiaan. Setidaknya ada 37 puisi bertema politik, sementara tema agama dan kemanusiaan masing-masing 32 judul. Semua ditulis dengan jujur. Sebab pria yang tercatat sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Malang ini jiwanya laksana ruang kosong. Tak ada lemari, loker, atau kotak-kotak yang dipakai untuk menyembunyikan sesuatu. Semua kelihatan tampak jelas dan gamblang. Tidak ada yang ditutup-tutupi.

Luar biasa. Penulis kelahiran Lamongan ini mampu menenun kata demi kata hingga memberikan getar-getar rasa keindahan. Estetika dalam setiap baitnya pun mampu membentuk kehalusan budi pembacanya. Pada bagian yang sama juga ditemukan  beberapa puisi ditulis dengan frase yang  tajam  dan menohok. Kritik sosial yang dikemas dalam puisi ini bisa membuat telinga pembacanya merah dan bahkan mengernyitkan dahi.

Diawali dengan puisi berjudul Arti Politik. Politik dilahirkan dengan tujuan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Akan tetapi tujuan itu tidak pernah diwujudkan. Politik tetaplah politik. Manusia selalu berebut menjadi penguasa. Setiap pertikaian memakan "korban" tak terbilang. Setiap kemenangan yang didapat dari kesombongan selalu dibangun di atas keserakahan, fitnah, penindasan dan kemunafikan.

Di samping itu, pria kalem dan low profile ini juga mengindikasikan adanya pergeseran nilai nilai agama. Manusia cenderung silau pada dunia. Kepentingan duniawi diletakkan di atas kepentingan ukhrawi. Tuhan pun dilalaikan. Hubuddunia jadi juara. Mereka lupa bahwa kebahagiaan sejati itu tergantung pada relasi mereka dengan Tuhannya. Kritik religi ini dikemas dengan ciamik dalam balutan bahasa yang menyentuh kalbu. Hal ini tergambar dalam puisi berjudul Tafakur dan Muhasabah (hal. 52).

Pada bagian ketiga bapak tiga anak ini meneropong sisi kemanusiaan. Menurutnya, hidup adalah berjamaah. Namun yang kerap dijumpai justru sikap individualistis. Cinta dan kasih sayang yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia disia-siakan. Yang kuat tanpa belas kasihan mengangkangi hak-hak mereka yang lemah. Kritik sosial ini disampaikan dalam bahasa puisi yang lugas dan mengena.

Buku ini merupakan representasi suasana hati penulisnya. Hati yang tak pernah bohong. Apa yang ada di hati itu yang ditulis. Yang ditulis itu yang diucapkan. Yang diucapkan itu yang dilakukan. Yang dilakukan itu adalah kebiasaan. Dan kebiasaan itu cermin dari sebuah karakter. Oleh karena itu buku ini dapat menjadi variabel peningkatan karakter seseorang.

Membaca karya dosen komunikasi ini serasa mendapat nutrisi yang menjadi salah satu kekuatan untuk kembali pada fitrah manusia. Banyak hikmah yang kita petik dari buku ini. Maka tebalkanlah agar semakin banyak hikmah yang kita unduh. Sampai pada akhirnya dapat menjadi tongkat yang menuntun manusia menuju cahaya dalam rengkuhan-Nya.

Selamat membaca!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun