Rumah bisakah kau disebut surga. Surga yang dapat menjadikan seutuhnya manusia. Bukan hanya sekedar makhlu hidup yang sedang berlindung dari gelapnya dunia, teriknya sinar matahari. Bisakah kau seperti itu, menjadikan ku manusia. Manusia yang tak lagi menjadi korban komoditas perdagangaan. Perdagangan yang hanya melihat dari untuk dan rugi semata. Memang tak lagi terbatas ruang dan waktu yang ada pada rumah terlalu ku. Aku ingin lebih. Lebih banyaknya air yang senantiasa ditemani oleh gelombang laut.
Meski keinginan ku sebesar gelombang air. Menggulung segala yang terlintas didepannya. Mencengkram apa saja yang telah menghalangi. Mencoba membuka jalan-jalan untuk kehidupan makhluk yang lain. Makhluk yang senantiasa berenang mengikuti atau melawan gelombang ini. Inilah besarnya keinginan ku untuk dapat lepas dari keterikatan ruang dan waktu.
Tapi, itulah yang selalu muncul dimulut dan lidah yang tak bertulang ini. Mengucap dengan pelan. Berucap dengan lirih. Bahwa akulah hanya sekedar manusia. Manusia yang memiliki segala kelelahan, kepenatan dan kebosanan. Itu pun selalu menyelimuti segala bentuk perjalananku. Bukan lagi hanya menyelimuti, tetapi juga menjadikan diri ini sebagai sahabatnya.
Rumah. Bukankah kau sebuah benda yang bertempelkan dengan berbagai keindahan fisik saja. Fisik bangunan yang kokoh, fasilitas yang mentereng dan berbagai gemerlap lampu didalamnya. Aku pun tak ingin meminta mu untuk lebih itu. Hanya keinginan sederhana. Menjadikan dirimu sebagai sebenarnya surge dunia. Surge yang menampung segala penatku. Surge yang memelukku ketika aku lelah berjalan. Kemudian engkau melindungi diri ku ini. Perlahan engkau melindungi ku untuk tak tersentu oleh dinginnya malam, serta mencekal segala keperihan cahaya siang hari.