Mohon tunggu...
darno kartawi
darno kartawi Mohon Tunggu... -

Saya suka musik bambu karena mudah didapat dimana-mana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karawitan Gaya Banyumas

23 April 2010   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Karawitan gagrag Banyumas atau karawitan Banyumasan merupakan salah satu gagrag dalam karawitan Jawa yang berkembang di luar lingkungan kraton Surakarta dan Yogyakarta. Dalam sajian-sajiannya tercermin adanya local genius yang didasarkan pada nilai-nilai lokal yang berada di luar tembok kraton. Menurut Rene T.A. Lysloff (1992:88) penggunaan akhiran "an" di belakang nama tempat berkaitan dengan pandangan cenderung dimaksudkan untuk mengecilkan tradisi dan berhubungan dengan persoalan "gaya". Misalnya: karawitan Jawa Timuran, gagrag Banyumasan, gagrag Semarangan, dan-lain-lain.

Karawitan Banyumasan ditandai ada perbedaan yang tajam dibandingkan dengan karawitan kraton (Surakarta-Yogyakarta), baik pada bentuk gendhing, jenis instrumen, repertoar gendhing maupun cara permainan instrumen. Semua itu terjadi karena adanya perbedaan sumber nilai yang diacu. Karawitan kraton bersumber dari konsep nilai adiluhung, sedangkan karawitan Banyumasan berangkat dari nilai kerakyatan dengan konsep kesederhanaan dan egaliter. Anderson Sutton berpendapat bahwa orang-orang lokal di Banyumas melihat diri mereka lebih sangat terbuka (blag-blagan), egalitarian, lebih santai dibanding orang Solo maupun Yogya (Sutton, 1991:70). Ini membuktikan di dalam diri orang Banyumas tidak tertanam sifat formal sebagaimana dijumpai di lingkungan kraton. Ini menjadi sifat dasar yang selanjutnya tercermin pada ekspresi dan spirit sajian karawitan yang berkembang di wilayah itu.

Sesuai basisnya yang berada di lingkungan rakyat kebanyakan, karawitan Banyumasan sering digolongkan ke dalam jenis karawitan rakyat. Rahayu Supanggah menyebutkan bahwa karawitan rakyat ditandai dengan penggunaan ricikan (instrumen) yang relatif sederhana. Karawitan jenis ini memiliki sifat yang spontanitas dan akrab dengan lingkungan, hampir meniadakan jarak fisik maupun psikologis antara seniman dengan penontonnya (Rahayu Supanggah, 1991). Demikianlah yang terjadi pada karawitan Banyumasan. Sajian gendhing-gendhing di dalamnya mengesankan hadirnya konsep kesederhanaan dan egalitarian yang mencerminkan konsep hidup masyarakat pendukungnya.

Gendhing Banyumasan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga warna garap, yaitu warna Banyumasan, warna wetanan (Surakarta-Yogyakarta) dan warna kulonan atau Sunda (Sudarso, 1999). Ini mengingatkan apa yang diungkapkan Anderson Sutton (1991:70), bahwa kultur Banyumas sering dideskripsikan sebagai penduduk lokal dan percampuran antara Sunda dan Jawa. Keberadaan ketiga warna garap tersebut mencerminkan bahwa Banyumas selain memiliki warna lokal yang bersumber dari tradisi setempat, juga mendapat pengaruh dari gendhing-gendhing wetanan maupun kulonan.

Salah satu warna lokal yang terdapat di dalam gendhing Banyumasan adalah adanya guritan. Di dalam kesusastraan, guritan dapat digolongkan ke dalam jenis puisi Jawa. Demikian pula yang terjadi pada garap guritan pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan, di dalamnya terdapat jenis-jenis puisi yang disajikan dalam bentuk tembang. Ada beberapa macam gendhing yang memiliki guritan di dalamnya, seperti Tlutur, Ilo Gondhang, Randha Nunut, Kembang Glepang, Sekar Gadhung dan lain-lain.

Pada sajian garap guritan terdapat spesifikasi berupa penonjolan vokal sindhen. Pada garap ini tidak seluruh instrumen ikut dimainkan. Vokal sindhen dalam sajiannya dipadukan dengan garap vokal senggak dan atau garap kendhang. Di dalam bermusik dikenal apa yang disebut organisasi musikal, yaitu distribusi kedudukan masing-masing ricikan atau vokal, hubungan antar ricikan dan atau vokal (Rahayu Supanggah, 1996). Pada kasus guritan di dalam gendhing Banyumasan, model organisasi musikal dilakukan dengan melibatkan instrumen dalam jumlah terbatas.

Sekalipun di dalam garap guritan hanya melibatkan instrumen dalam jumlah terbatas, namun demikian justru guritan menjadi salah satu bagian terpenting dari keseluruhan sajian. Ini merupakan sebuah peristiwa penting yang hanya mungkin terjadi ketika seorang pengrawit melibatkan sense budaya dalam sajian. Seperti diungkapkan oleh Marc Perlman (2004:16) bahwa sense budaya diproduksi secara konsisten oleh tersebarnya bagan melintasi wilayah yang ditangkap para ahli di masa lalu di dalam gagasan seperti Zeitgeist, pandangan dunia, tema budaya, nilai inti atau cara berpikir. Dengan demikian ketika seorang pengrawit menyajikan garap guritan, serta-merta di dalamnya akan terlibat hal-hal yang berada di luar wilayah musik mencakup pandangan dunia, tema budaya, nilai inti atau cara berpikir, yang semua itu menjadi dasar bagi keseluruhan orang Banyumas dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan struktur musik, garap guritan di dalam sajian gendhing Banyumasan mencerminkan adanya pengalaman individu seniman dalam konteks hubungan anter personal. Seperti diungkapkan John Blacking, struktur musik merefleksikan hubungan antar manusia (1995:31). Dalam konteks ini, sajian garap guritan memberikan gambaran adanya jalinan hubungan antar seniman baik di dalam maupun di luar wilayah musik. Hasil sajian guritan tidak dapat dipisahkan dari nilainya sebagai ekspresi pengalaman estetik yang ada pada diri tiap-tiap seniman yang terlibat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun