Ini sebenarnya cerita beberapa tahun lalu. Pengalaman mendapatkan bos toxic membuatku sempat hampir menyerah menjadi PNS. Beberapa skenario sudah kupikirkan, seperti pindah instansi, cuti di luar tanggungan negara, atau memang berhenti sama sekali dan menjadi freelancer.
Tiada hari tanpa marah-marah. Itu yang kami rasakan. Tidak pernah ada pekerjaan yang dianggap beres. Kata-kata seperti goblok, nggak bisa apa-apa, dan yang merendahkan seringkali kami dengar. Pelaksana dipermalukan dalam rapat dengan pihak eksternal. Semua terjadi di depan mata dan entah kenapa kami seakan tak berdaya. Mental kami sudah kena.
Hingga suatu hari, satu rekan kerja kami yang tampak tangguh menghilang begitu saja. Satu hari, dua hari berlalu, dia tidak muncul di kantor lagi. Waktu menjawab, ternyata dia benar-benar berhenti dari PNS. Sekarang, dia menjadi pengusaha, bikin kafe kopi di Jakarta.
Setelah itulah kami sadar, dan mulai melakukan perlawanan. Aku menulis di blog lalu viral. Aku akhirnya dipindahkan ke unit lain karena itu. Syukurlah akhirnya aku terbebas dari situasi beracun tersebut.
Butuh waktu untuk membangun kepercayaan, baik kepercayaan diri maupun kepercayaan terhadap orang lain. Di sanalah akhirnya aku mengenal komedi. Tepatnya stand up comedy.
Kata Raditya Dika, komedi adalah tragedi yang diberi waktu. Kebetulan, ada lomba stand up comedy di kantor. Aku pun ikut serta.
Selamat pagi orang-orang lemah yang mengeluh karena punya bos perempuan. Sebab, bos selalu benar. Perempuan juga selalu benar. Kalau punya bos perempuan, kelar hidup loe.
Ndilalah, aku menang lomba itu. Juara pertama. Memang komedi yang berisi keresahan paling jujur lebih bisa dinikmati.Â
