Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dramatisasi Mudik Penyebab Covid-19

16 Mei 2021   14:28 Diperbarui: 19 Mei 2021   10:53 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini, akal sehat saya terketuk. Terpikir bahwa terjadi dramatisasi mudik penyebab Covid-19.

Hal itu muncul akibat perbandingan terhadap keadaa yang terjadi saat ini, ketika berwisata mencuat. Tempat-tempat hiburan, tempat-tempat wisata membeludak. Bukan cuma Ragunan dan Ancol, jalanan ke Puncak pun mengular. Wisata-wisata di sekitar Gunung Salak juga ramai. Belum lagi daerah-daerah seperti Anyer dan Sukabumi juga penuh sesak.

Beberapa aksi pewisata yang dipaksa putar balik juga viral. Luar biasa, sebab minim sekali narasi untuk tidak berwisata.

Sebab akal sehat mana pun pasti bisa menduga, setelah lebaran kedua, orang-orang akan menyerbu tempat wisata. Dari tahun ke tahun selalu seperti itu. Saya pun sempat berencana, Sabtu lalu hendak berwisata ke Kepulauan Seribu, menginap satu malam.

Tapi membayangkan keramaian di kapal, saya tidak percaya diri membawa anak-anak. Terlalu berisiko. Saya pun ingin mengubah tujuan ke daerah Ciasihan yang banyak air terjunnya tapi teman di Bogor mengirimkan foto kemacetan di jalan menuju sana.

Ironisnya, hanya mudik yang dijadikan kambing hitam, dianggap sebagai dosa besar. Sampai kemarin, masih ada pendengung (buzzer), so-called influencer di Twitter,  yang melakukan kampanye bahaya mudik. Sebagai aktivis media sosial, memang tawaran-tawaran seperti itu nyata. Dibayar 100-150 ribu untuk 5-10 cuitan.

Ironis karena hei, kemarin sudah tanggal 15 Mei. Dalam konteks apa masih ngomongin bahaya mudik? 

Padahal aktivitas mudik sudah berlalu dan saya apresiasi, ada usaha untuk menahan arus mudik dengan cara yang lebih baik, meski banyak yang nekat cari jalan tikus atau nekat menerobos penyekatan.

Yang tersisa dari mudik adalah arus balik yang jumlahnya ya sudah tidak begitu signifikan sebab lebih banyak orang sudah bersetia memilih di rumah saja.

Masalah utama yang muncul, yang terang-terangan adalah kenapa tempat wisata dibuka? Dan sampai tadi pagi, saya belum menemukan campaign yang secara masif menarasikan, ayo dong jangan berwisata dulu.

Baru beberapa jam belakangan saya baca ada keputusan menutup tempat wisata. Meski ya kok telat. Seharusnya sudah tahu dari awal, Sabtu-Minggu ini orang pasti ramai keluar rumah. Besok sudah bekerja lagi.

Di situ saya merasa narasi soal mudik berbahaya ini terlalu didramatisasi. Campaign di Twitter muncul sebagai upaya stratagem untuk menonjolkan katakanlah keberhasilan di satu sisi dalam menahan arus mudik, dan yang telah menerobosnya adalah penjahat, agar kita teralihkan dengan masalah yang tengah terjadi dan belum menemukan solusinya.

Narasi besar seperti 4000an pemudik positif Vovid dari 6000an sampel dibangun. Dan tentu siapa saja yang belajar statistik akan membenturkan kepalanya ke dinding saat membaca itu. Tapi kita tak melihat narasi yang sama untuk berwisata.

Di situlah, kita memang patut bertanya-tanya dan pada akhirnya hanya bisa mengelus dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun