Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pelajaran Sehat dari Drama "It's Okay to Not Be Okay"

16 Desember 2020   21:32 Diperbarui: 16 Desember 2020   21:44 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hitung sampai tiga. Sumber: Metro Style

Salah satu topik dalam Danone Blogger Academy Reunite beberapa waktu lalu mengingatkanku pada serial drama Korea berjudul It's Okay To Not Be Okay. Serial drama yang diperankan oleh Kim Soo Hyun tersebut membawa tema kesehatan mental yang dianggap tabu dibicarakan oleh masyarakat Korea Selatan. 

Pun di negara kita, bicara kesehatan mental seakan-akan mengacu ke penyakit gila. Padahal tidak demikian. Seperti yang diungkapkan oleh Dokter Sofi (lengkapnya Muhammad Soffiudin, Occuputational Health Leader Danone Indonesia), pada dasarnya kesehatan mental dan kesehatan fisik itu setara. 

Bila secara fisik, ada yang bersin-bersin, begitu pun dengan kesehatan mental. Gong Hyo Jin saat memerankan tokoh dalam serial drama Korea lain, t's Okat It's Love"juga gamblang mengatakan pada dasarnya kita semua sakit jiwa, hanya saja jenis dan kadarnya yang berbeda-beda (disclaimer: kalimat ini berdasarkan subtitle, karena di luar sana ada yang membedakan kata mental dan jiwa).

Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran, bahwa dalam sebuah revolusi gaya hidup sehat, tidak cukup hanya dengan menjaga nutrisi dan aktivitas fisik saja. Kesehatan mental pun perlu dijaga.

Kembali ke drama tadi, diceritakanlah seorang penulis cerita anak bernama Ko Moon Young (dipernkan oleh Seo Ye Ji) yang memiliki masalah kejiwaan tanpa menyadarinya. Kim Soo Hyun sendiri berperan sebagai Moon Kang Tae, seorang pemuda yang mengurus kakaknya, Moon Sang Tae yang autis dengan ketakutan terhadap kupu-kupu, simbol dari pembunuh ibunya. Ketiga tokoh utama ini memiliki traumanya masing-masing. Meskipun akhirnya Moon Kang Tae menjadi seorang helper di rumah sakit rehabilitasi kejiwaan, ia sendiri tidak menyadari kejiwaannya juga bermasalah. 

Di sini kita tidak akan bercerita panjang tentang plotnya. Hanya, dalam drama ini kita bisa belajar bahwa persoalan-persoalan kesehatan mental bisa dibicarakan seperti kita membicarakan sakit fisik. Datang ke psikolog misalnya, bukanlah hal tabu, dan itu lebih baik ketimbang mencurahkan beban kita kepada seorang teman.

Nah, dalam Danone Reunite kemarin, saya jadi belajar membatasi diri pada lautan informasi yang tak tentu kebenarannya akan berpengaruh pada kesehatan mental kita. Kita tahu 'kan dalam keadaan pandemi begini kita sebenarnya pengen up date informasi tentang Covid-19. Di satu sisi itu membangun keawasan. Namun, kita tidak pernah tahu mana informasi yang benar-benar valid. Kita toh bukan ahlinya. Nah, informasi yang tidak terfilter itu bisa tertanam ke alam bawah sadar kita dan membangun ketakutan atau rasa panik.

Seorang teman penyintas Covid-19, Deddy Soeharto, memberi kesaksian bahwa itulah yang kerap terjadi. Ia menyebarkan virus bahagia untuk menghadapi virus Covid-19. Ternyata keberhasilan ia menyintas Covid-19 sangat dipengaruhi oleh kesehatan mentalnya. Pada awalnya ia merasa kaget dan panik saat menerima kabar dirinya positif. Itu membuat kondisinya menurun drastis. Lalu, sebagai orang yang beragama, ia kembali lagi kepada Quran dan mampu membangun kebahagiaan dalam proses penyembuhannya sehingga ia berhasil bugar kembali.

Kondisi mental yang tidak stabil itu memang menurunkan imunitas tubuh kita. Bahkan pernah kita dengar istilah pseudo-symptoms dari Covid-19. Saya mengalaminya. Di awal-awal PSBB, saya merasakan sakit tenggorokan. Setiap malam bertanya-tanya apakah saya kena Covid-19. Lalu setiap malam itu pula dada saya sesak. Rasa takut yang berlebihan itu ternyata membuat tubuh meresponsnya dengan seolah-olah kita sakit. Padahal tidak.

Saat ini, atasan langsung saya masih dalam ruang isolasi. Kondisinya bugar karena ia menjaga pikirannya untuk terus positif. Dan meskipun diisolasi, ia tetap hadir dalam rapat-rapat internal kami via Zoom karena menurutnya, hal paling menakutkan di ruang isolasi adalah rasa sepi. Di sinilah kesehatan mental ternyata membutuhkan kondisi saling support antar teman atau keluarga.

Dokter Sofi pun memaparkan apa yang sudah coba Danone lakukan di internalnya untuk menjaga kesehatan mental itu. Menarik sih, karena dalam usaha preventif itu, Danone menyelenggarakan Yoga Class secara virtual selain Health Talk secara rutin. Di kantorku, Health Talk sudah ada, namun seru juga ya kalau ada kelas Yoga secara virtual.

Nah, saya jadi teringat ucapan guru waktu SMP tentang lirik lagu Indonesia Raya. Perhatikan salah satu bagian lirik lagu wajib nasional tersebut: 

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Yang disebut lebih dulu adalah bangunlah jiwanya. Di sini para bapak-bapak pendahulu kita itu sudah paham betul bahwa jiwa memiliki peranan penting dalam pembangunan bangsa. Dan itu harus dibarengi dengan membangun badan/fisik.

Haruki Murakami. Sumber: AZ Quotes.com
Haruki Murakami. Sumber: AZ Quotes.com
Cerita bahwa aktivitas fisik bisa membangun kesehatan mental itu bisa kita dapatkan dalam cerita Haruki Murakami di memoarnya What I Talk About When I Talk About Running. Kita bisa belajar banyak bahwa rutinitasnya bermaraton membuat energi menulisnya berlimpah. 

Dan ini kuaminkan karena sejak pandemi, untuk mengatasi pseudo-symptomps itu tadi aku membeli sepeda. Aku pun rutin bersepeda di sekitar rumah, tidak jauh-jauh juga untuk melepaskan stress. Gerak tubuh, gerak pikiran, ternyata seperti gerak air. Air yang keruh itu adalah air yang tidak mengalir. Begitu juga badan kita. Kalau tidak digerakkan akan ada proses yang membuat kotoran jiwa itu mengendap (selain kotoran fisik./penyakit).

Butterfly Hug. Sumber: Pop Mama.
Butterfly Hug. Sumber: Pop Mama.
Dan kalau kita merasa diri kita tidak baik-baik saja, ada baiknya mencoba pose butterfly hug seperti yang ditunjukkan Moon Kang Tae kepada Ko Moon Young. Butterfly Hug adalah teknik psikoterapi dasar untuk menenangkan suatu amarah dan membuang rasa trauma perasaan seseorang. Melalui ketukan tangan kanan dan kiri bergantian, itu dapat membantu kita untuk menstabilisasi emosi dan pikiran negatif yang dirasakan. Teknik ini bisa diterapkan ketika seseorang mengalami serangan kecemasan atau sering panik.

Dan sebagai penutup, ada satu adegan paling menarik dalam drama ini. Yaitu usai kematian ayahnya, Moon Young terlihat memandang makam sang ayah. Sang Tae (yang autis) kemudian bertanya apakah Moon Young merasa sedih. Melihat Moon Young mengelak, Sang Tae langsung mengatakan, "Bersedih bukanlah hal yang memalukan." 

Ya, kalau memang sedang merasa sedih, maka bersedihlah. It's Okay to Not Be Okay!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun