Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Pesan Seno dalam Pidato Kebudayaannya

27 November 2019   22:50 Diperbarui: 27 November 2019   23:00 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seno Gumira. Whiteboard Journal.

Seno Gumira Ajidarma. Bagi para penulis yang menempuh jalan cerpenis secara serius tentu tak ada yang tak mengenalnya. Kisah Sukab dan Alina dalam Sepotong Senja untuk Pacarku menjadi "bacaan wajib", salah satu karya kanon dalam belantara cerpen Indonesia.

Sang Sukab, eh Seno, beberapa waktu lalu menyampaikan pidato kebudayaan dalam ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Pidatonya itu diberi judul Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi.

Setidaknya ada 3 poin penting yang bisa jadi pembelajaran kebudayaan kita pada hari-hari belakangan ini. Apa saja itu?

1. Mencapai Kebenaran adalah Mungkin

Satu kalimat tersebut sebenarnya bisa menghasilkan banyak tafsir. Kebenaran itu sendiri adalah mungkin, di tengah gejolak orang-orang yang meyakini dirinya benar. Dua belah pihak bertarung bukan benar melawan salah. Tapi dua pihak yang sama-sama merasa benar.

...ternyatalah bahwa tiada kebenaran yang tunggal, karena ternyata setiap usaha menyampaikan denotasi merupakan konotasi pula. Sedangkan usaha menyuruk ke dalam argumen pembenaran, atas hakikat keberadaan tusuk gigi ini, justru menghasilkan keberagaman konotatif yang menggugurkan ideologi kebenaran tunggal itu sendiri.

2. Identitas adalah Persoalan yang Penting, Sekaligus Diabaikan

Seno memberi ilustrasi. Dari jalanan bisa didapatkan ilustrasi yang berlangsung setiap hari di depan mata: sementara perdebatan tentang berhijab atau takberhijab seperti takkan pernah mencapai hasil akhir, regulasi bahwa tanpa pandang bulu pengendara motor wajib mengenakan helm sudah final dan disepakati semua golongan---tetapi jika dikatakan bahwa peraturan lalu lintas lebih dituruti daripada peraturan agama tentunya bisa menyinggung perasaan.

Namun masih menarik untuk menampilkannya sebagai kondisi pascamodern: kerudung secara universal terasalkan dari masa pra-Islam untuk mengatasi atmosfir berserbuk debu, yang kemudian mendapat beban makna spiritual-religius; helm adalah produk modernitas, sebagai hasil perhitungan teknis-matematis, bahwa kepala di dalam helm itu terjamin utuh ketika helmnya terlindas panzer. 

3. Cepat Boleh, Tapi Hati-hati

Dalam hal ini Seno menyindir revolusi industri 4.0 dan perubahan zaman yang menginginkan segalanya serba mudah dan cepat. Ia dengan cerdik mengingatkan kembali cerita perlombaan lari antara kancil dan siput. Kancil yang cepat dikalahkan oleh siput.

Seno mengatakan, "Agar kita semua tidak terlanjur meluncur dengan kecepatan cahaya, hanya untuk hancur lebur menjadi debu, baiklah mitos itu dilawan dengan sebuah kontramitos."

Bagaimana, menarik bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun