Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Nyinyir Dulu dengan Poligami Aceh

9 Juli 2019   08:32 Diperbarui: 11 Juli 2019   02:40 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poligami Aceh. Sumber: Surabaya Inside

Jelas bahwa secara hukum Islam, mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum poligami adalah mubah (boleh). Hanya sebagian kecil yang mengatakan poligami sunnah, apalagi wajib. Meskipun mubah (boleh), banyak ulama memberikan catatan bahwa poligami ibarat menjadi bab tertinggi dalam pernikahan. Tidak boleh sembarangan karena sangat dekat ke kezaliman.

Baru-baru ini warganet riuh. Pasalnya, rancangan qanun Hukum Keluarga di Aceh juga akan mengatur soal poligami. Keriuhan warganet asal tebas dan lepas dari konteks isi rancangan qanun tersebut. Kebanyakan sih karena mereka belum membaca isi rancangan qanun tersebut.

Hukum Islam itu seyogianya diberi tempat/kedudukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hukum perkawinan kita, UU No. 1 Tahun 1974, pada dasarnya berasas monogami. Asas monogami ini tidak mutlak. Pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan istri pertama mengizinkan untuk itu. 

Sesungguhnya UU No. 1 tahun 1974 itu masih menyimpan sejumlah masalah karena belum mengatur secara lebih jelas tentang poligami. Sementara itu, dalam rancangan qanun justru mencoba mengatur  persyaratan yang harus dipenuhi oleh suami jika ingin menikah lagi. Kriteria seorang suami dibolehkan berpoligami di antaranya mempunyai kemampuan secara lahir dan batin, dan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 

Kemampuan lahir sebagaimana dimaksud merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal untuk kehidupan istri-istri dan anak-anaknya. Kemampuan tersebut harus dibuktikan dengan sejumlah penghasilan yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaan baik sebagai Aparatur Sipil Negara, pengusaha/wiraswasta, pedagang, petani maupun nelayan atau pekerjaan lainnya yang sah.

Kemampuan batin sebagaimana dimaksud merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, biologis, kasih sayang dan spiritual terhadap lebih dari seorang istri.
Jika tidak mungkin dipenuhi, seorang suami dilarang beristri lebih dari 1 (satu) orang.

Terlihat bahwa, qanun ini dibuat untuk melindungi perempuan dari nikah siri ini juga mengatur hak yang sama antar setiap istri dan anak-anak. Patut diapresiasi sebenarnya, karena qanun itu mencoba mengkuantitafikan kata keadilan.

Suami yang hendak menikah untuk kedua hingga keempat kalinya harus mendapat izin dari Mahkamah Syar'iyah. Pernikahan tanpa izin Mahkamah Syar'iyah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.

Di sini sebenarnya sudah terlihat bahwa pengaturan poligami terhadap masyarakat sipil jauh lebih ketat dari negara menerapkannya. Apalagi kalau kita lihat di pasal-pasal selanjutnya. Qanun ini menjabarkan lebih jauh pasal-pasal di UU Perkawinan.

Pasal 48 berisi:

(1) Mahkamah Syar'iyah hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari 1(satu) jika:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Qanun ini; atau
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter ahli.; atau
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan, yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter ahli.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu syarat terpenuhi seorang suami sudah dapat mengajukan permohonan beristri lebih dari 1 (satu) orang meskipun istri atau istri-istri sebelumnya tidak menyetujui, Mahkamah Syar'iyah dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang.

Bukan hanya itu, ada persyaratan lain dalam pasal selanjutnya, pasal 49 yang berisi:

(1) Selain syarat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), untuk memperoleh izin Mahkamah Syar'iyah harus pula dipenuhi syarat-syarat:
a. adanya persetujuan istri atau istri-istri; dan
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan istri atau istri-istri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan.
(3) Persetujuan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh istri di hadapan sidang Mahkamah Syar'iyah.
(4) Persetujuan sebagaimana pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami, jika istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada khabar dari istri atau istri-istrinya paling kurang 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat pertimbangan hakim.

Dari sini kita melihat, selama Mahkamah Syariah bisa berjalan dengan baik, qanun ini justru akan mengatur poligami dengan lebih baik. Pernikahan secara siri bisa jadi akan berkurang dan hak-hak perdata istri dan anak akan bisa lebih terfasilitasi. Tidak seperti sekarang, UU Perkawinan baru bisa menjangkau ASN (utamanya), sedangkan rakyat masih main kucing-kucingan terhadap negara dengan menikah siri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun