Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar Berbagi dan Peduli Saat Macet Bersama Uber

3 November 2017   22:59 Diperbarui: 4 November 2017   13:15 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: uber.com)

Kemacetan sudah menjadi permasalahan klasik di setiap kota besar. Bahkan menjadi tradisi dan ikonik. Bukan kota besar namanya jika tidak ada kemacetan di beberapa ruas jalan utamanya. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan berbanding lurus dengan kepemilikan kendaraan menjadi faktor utama kemacetan selalu terjadi dan tidak bisa dihindari. 

Pemerintah sebenarnya sudah lama memikirkan solusi untuk menciptakan mobilitas yang efisien bagi penduduknya. Mulai dari kampanye penggunaan transportasi massal, pembangunan ruas jalan baru, hingga pembatasan kendaraan di jalanan. Tetap saja semua itu belum bisa mengatasi kemacetan secara penuh.

Secara konsep, sebenarnya ada satu solusi yang belum dijalankan oleh pemerintah, namun sudah dilakukan oleh pihak swasta, yakni berkendara bersama atau ride sharing. Di era digital, salah satu model bisnis yang berkembang adalah model bisnis sharing economy. Konsep model bisnis ini adalah sebagai jembatan antara penjual dan pembeli, antara pemilik dan penyewa. Dalam bidang transportasi, model sharing economy ini diterjemahkan UBER, sebuah startup transportasi online menjadi ride sharing, berkendara bersama.

Saat masih bekerja di Surabaya di tahun 2002, saya sebenarnya sudah memakai konsep berkendara bersama. Saat itu, tempat tinggal saya di Malang, sementara tempat kerja di Surabaya. Butuh waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dengan memakai angkutan umum bis antar kota dan angkutan umum dalam kota (mikrolet). Berangkat dari rumah usai subuh kemudian naik bis di terminal, saya biasanya sampai di Surabaya pukul 08.00 kurang sedikit, yang penting masih cukup waktu untuk absen, itu pun dalam kondisi lalu lintas lancar. Jika sedang ada kemacetan, waktu tempuh otomatis jadi lebih lama. 

Suatu ketika, pimpinan saya yang juga bertempat tinggal di Malang menawari saya untuk ikut dalam kendaraannya saat pergi-pulang kerja. Alhamdulillah, batin saya. Paling tidak bisa menghemat uang transportasi lebih hemat waktu dan tentu saja lebih nyaman. Saat di Malang ketika pertama kalinya ikut nebeng, saya terkejut karena bukan cuma saya saja yang ikut dalam kendaraan pimpinan saya. Ada 4 orang lainnya, yang tidak satu kantor dengan saya, tapi sama-sama ke arah Surabaya ikut menumpang kendaraan pimpinan saya. Dari mereka, saya baru tahu bahwa pimpinan saya lah yang menawari mereka untuk ikut nebeng di kendaraannya. Hal ini berlangsung terus selama pimpinan saya bekerja di Surabaya.

Pengalaman tersebut kini membuat saya sadar, bahwa konsep berkendara bersama/ride sharing tak hanya sekedar mengurangi kemacetan. Tapi, dibalik itu juga bisa menumbuhkan rasa kepedulian sosial. Secara psikologi sosial, orang-orang yang setiap hari menghadapi kemacetan cenderung egois dan berkurang rasa kepedulian sosialnya. Tengoklah di jalanan yang macet, dimana setiap orang berebut mengambil tempat kosong dan saling menyalip tanpa mengindahkan etika kesopanan dan kesusilaan. 

Mereka juga cenderung mudah marah dan tidak sabar. Hingga terciptalah sebuah adagium bahwa kemacetan justru menjadi sarana latihan untuk tidak mudah marah dan bisa bersabar. Hal ini diilustrasikan dengan begitu baiknya oleh video iklan UBER yang berjudul Boxes seperti dibawah ini:

Di dalam ride sharing, potensi komunikasi dua arah dari orang-orang di dalam satu kendaraan lebih mudah terjadi. Mulai dari saling berkenalan, bercerita diri, hingga mengomentari setiap momen yang dilewati saat berkendara bersama. Hal ini tentu saja ikut menumbuhkan kepedulian sosial, baik diantara mereka sendiri maupun kepedulian pada lingkungan/orang-orang di luar. 

Berbeda jika kita naik kendaraan umum, ada semacam garis pembatas antara pengemudi dan penumpang sehingga menciptakan kesenjangan dalam berkomunikasi dua arah. Apalagi jika kita berkendara sendiri. Yang terjadi hanya kesunyian belaka, atau sekedar suara musik/radio. Inilah yang justru berpotensi menciptakan stress dan efek buruk psikis lainnya saat menghadapi kemacetan, karena tiadanya teman bicara dan berbagi rasa.

Ide inilah yang kemudian ditangkap oleh UBER dengan menciptakan startup transportasi online yang memakai konsep berkendara bersama. Melalui video iklannya, UBER memberikan pesan pada kita semua, bahwa jika kita terus bersikap egois memaksakan berkendara sendiri (demi gengsi dan status sosial), Jakarta (dan kota-kota besar lainnya) akan berhenti total dalam lima tahun kedepan. UBER mengajak kita untuk menciptakan kota denga lebih sedikit mobil melalui konsep ride sharing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun