Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Suara Hati Istri: Berani Menjadi Ibu Rumah Tangga Itu Hebat

8 Juni 2021   18:26 Diperbarui: 8 Juni 2021   18:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi ibu rumah tangga berarti harus siap tidur paling malam dan bangun paling pagi (ilustrasi idea.24tv.ua diolah pribadi melalui Canva)

Dari pemikiran seperti itulah akhirnya mitos ibu rumah tangga itu profesi yang remeh terbentuk seperti apa yang kita ucapkan. Tapi benarkah demikian? Salah besar! 

Pekerjaan ibu rumah tangga ternyata tidak ada habisnya. Menjadi ibu rumah tangga berarti harus siap tidur paling malam dan bangun paling pagi. Kalaupun kita tertidur duluan, itu karena kondisi kita yang benar-benar lelah setelah seharian melakukan pekerjaan rumah tangga.

Seorang ibu (baca: istri) juga harus siap menjadi pendamping dan pengganti suami di saat sang suami bekerja atau sedang tidak di rumah. Ibulah yang harus meng-handle anak-anaknya seorang diri. 

Sungguh, pekerjaan ini benar-benar tidak mudah (makanya gaji pengasuh anak lebih besar dibandingkan ART biasa). Karena banyak berinteraksi dengan anak, mau tidak mau sebagian besar watak/tabiat ibu menurun kepada sang anak.

Tak salah apabila orang-orang bijak berkata, ibu adalah tonggak negara. Karena tanggung jawab ibu terkait erat dengan peran mereka dalam membentuk karakter anak. Mereka menjadi pondasi pembentukan kedewasaan jiwa anak.

Berikutnya kedekatan emosional dengan anak. Inilah yang kerap diremehkan orangtua khususnya ibu. Mereka seringkali tidak telaten (termasuk saya) mengakomodasi keinginan-keinginan anaknya, terutama saat mereka baru tumbuh.

Seringkali kita merasa jengkel, marah, saat anak-anak kita tidak menurut, atau meminta perhatian lebih. Kejadian ini biasanya berlangsung terus-menerus sehingga membentuk dinding pembatas komunikasi antara ibu dan anak. Sedapat mungkin kondisi ini saya hindari.

Kemungkinan kenakalan remaja juga berawal dari keengganan kita membuka komunikasi dengan anak. Ketika anak membutuhkan tempat berkeluh kesah, sementara orangtua khususnya ibu membangun dinding pembatas, bisa dipastikan mereka akan lari ke orang lain yang bisa menerimanya. 

Kalau tempat pelarian itu positif sih alhamdulillah. Bagaimana kalau anak-anak kita berkeluh kesah pada orang yang membawa pengaruh negatif?

Bagi saya sangatlah rugi membiarkan anak kita tumbuh dengan kemarahan-kemarahan kita dan ketidakpuasan mereka. Kondisi ini pada akhirnya akan memunculkan sifat-sifat negatif dalam diri sang anak. Padahal kalau kita menikmati peran atau profesi ibu rumah tangga, banyak sekali keuntungannya.

Pertama, ketika orang lain sibuk dengan pekerjaan di kantor atau sibuk mencari nafkah, kita  kita masih diberi kesempatan melihat anak-anak tumbuh dan berkembang di setiap tahapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun