Tak ada satu negara pun di dunia ini yang hanya terdiri dari satu suku, ras bahkan satu agama. Setiap negara terdiri dari berbagai macam bangsa dan golongan.
Kenyataan ini merupakan Sunnatullah, ketetapan Allah sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran:
"Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal" (QS Al-Hujurat: 13).
Muslim yang baik merasakan kebersamaan dengan muslim lainnya. Namun sebagai muslim, ia juga harus merasakan kebersamaannya dengan penganut agama lain bahkan dengan seluruh umat manusia.
Negara yang dipimpin Rasulullah Saw pada masanya dulu dibedakan antara masyarakat yang diikat oleh agama yang sama dan masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis/suku, namun diikat oleh himpunan kebijakan politik yang sama. Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah, membentuk negara yang menghimpun manusia di wilayah Madinah dan sekitarnya menjadi satu bangsa dengan keragaman agama dan etnis.
Sebagai bangsa Indonesia, kita bersyukur bisa diikat dalam satu wadah Negara Kesatuan yang direkatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Salah satu wujud dari rasa syukur ini adalah dengan menjaga persatuan dan kesatuan.
Persatuan dalam bernegara, ibaratnya sebuah bangunan. Tak ada yang boleh menonjolkan diri, merasa paling dominan, paling berperan, paling berjuang. Jika dalam sebuah bangunan ada yang merasa dirinya paling berperan, paling dominan dan paling penting, seperti sebuah besi yang ingin disebut paling penting, atau semen yang merasa dirinya paling berharga, maka itu bukan lagi sebuah bangunan, tapi toko material.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan
Khalifah terbesar umat Islam, Umar Bin Khattab, memandang bahwa musyawarah merupakan akar dari demokrasi. Bagi Umar, bermusyawarah itu bukanlah hanya sekedar untuk menguatkan pendapat salah satu pihak saja, tetapi yang lebih penting adalah untuk mencari kebenaran.
"Janganlah tuan-tuan mengemukakan pendapat yang menurut persangkaan tuan-tuan sesuai dengan keinginan saya, tetapi kemukakanlah buah pikiran menurut perkiraan tuan-tuan sesuai dengan kebenaran".
Bagi Umar, bermusyawarah itu adalah menyetujui suatu pendapat atau menentangnya, tak obahnya bagaikan sepasang sayap dari hukum yang baik, dan merupakan paru-paru dari setiap hukum yang benar.
Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa bermusyarawah dalam menentukan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!